Memahami Tentang Shalat

Shalat
Shalat adalah sarana utama untuk berkomunikasi secara intens (khusyu) dengan Allah. Namun shalat yang bagaimanakah yang disebut “dapat dilaksanakan secara intens/khusyu” sehingga menimbulkan dampak positip, dan dengan demikian akan menjadi sarana yang efektif untuk berkomunikasi atau kontak batin dengan Allah? Pertanyaan ini perlu dikemukakan berkaitan dengan peringatan Ibnu Al Arabi yang mengatakan bahwa : “Banyak orang yang melakukan shalat tetapi tidak pernah mengalami peristiwa apapun, apalagi untuk peningkatan spiritual”. 

Dengan asumsi ini kita perlu mengadakan koreksi total atas pelaksanaan shalat kita. Ibnu Al Arabi berkata : 
“Betapa banyak orang yang shalat tidak mengalami pengalaman apapun dari shalatnya selain daripada berlelahan berpayah-payah dan memandangi mihrab

Sebelum menjawab pertanyaan, shalat yang bagaimana yang bisa dipandang sebagai panggilan rahasia dan “Pertemuan Rahasia” sehingga benar-benar terjadi kontak batin yang saling menyambut antara manusia dengan Tuhan, kiranya sangat tepat bila kita memahami beberapa aspek tentang manusia.

Manusia dari zaman sekarang menuntut kecerdasan akal, sedangkan tuntutan memperoleh kecerdasan Budhi berupa kehendak memelihara tata susila, kehendak memelihara rasa keindahan dan terutama kehendak memelihara Agama. Kecerdasan Budhi tidak kurang pentingnya dari pada kecerdasan akal, bahkan paling perlu didalam kehidupan manusia.

“Siapa yang cerdas dalam hal-hal keduniaan, tidak mengerti hal-hal kebatinan, akan tetapi mereka yang cerdas didalam hal kebatinan juga cerdas didalam hal-hal keduniaan” (Hadist). 

Kepribadian seseorang hanya dapat dibangun dengan kebatinan, lebih dari pada dengan akal (Sareat).

◘ Nafsu ingin menunaikan wajib terhadap Agama masuk didikan kebatinan. Kehendak menunaikan wajib terhadap Agama dibuktikan dengan Shalat.

◘ Sari dari pada Shalat ialah tuntutan dari pada batin kita untuk memperoleh perhubungan dengan yang ada diluar kenyataan, Ialah Yang Maha Tinggi yaitu Allah SWT.

◘ Shalat ialah suatu bukti adanya rasa cinta dan bakti terhadap sesuatu Yang menciptakan kegaiban hidup.

◘ Shalat ialah dengan sadar mencari perhubungan dengan Suksma Semesta Alam dan kita butuh pada itu, seperti kita butuh pada makan dan tidur”.

◘ Shalat bukanlah minta-minta dengan do’a yang diucapkan dengan kerendahan ; Shalat ialah satu-satunya perbuatan mulia dan berani bagi tiap orang yang ragu-ragu apakah dia berbuat benar seperti dia harus berbuat”.

◘ Shalat ialah mengeluarkan arus atau banjir batin, yang tidak dapat dikatakan dengan kata-kata, kedalam keadaan yang besar, Yang ada dihadapan kita; ialah pengluasan daerah, pengluasan batas-batas tubuh kita, mencari dan meraba, gerakan gelombang gaib kearah pusat kekuasaan yang selalu ada dihadapan kita”. Shalat ialah kemauan yang diruncingkan ke arah Tuhan.

◘ Kekuatan Shalat yang memberi hiburan dan menambah keteguhan terletak didalam kenyataan, bahwa manusia mengenal sesuatu, kepada siapa ia dapat meminta pertolongan. Dia merasa tidak bersendiri, Yang Maha Suci ada berdekatan dengan dia. Dia selalu dapat memaling kepada-Nya dengan keinginan, kepentingan, kesukaran dan penderitaannya.

◘ Mula-mula orang mengira, bahwa Shalat itu mengucapkan kata-kata; akan tetapi dia mengerti, bahwa Shalat itu tidak berdiam, akan tetapi mendengarkan. Demikian Shalat berarti tidak mendengarkan kata-kata sendiri, Shalat berarti berdiam dan menunggu, agar yang Shalat mendengar suara Tuhan.

◘ Pada waktu kita menjalankan Shalat, maka pikiran kita tidak lagi mempunyai hubungan dengan keadaan didunia ini; pikiran kita pada waktu shalat keluar dari pusat akal dan selanjutnya mengalir ke-arah Budhi ; didalam Budhi pikiran kita bebas dari pengaruh-pengaruh buruk. Lebih dalam pikiran kita didalam Shalat ditujukan ke arah Tuhan Yang Maha Esa, lebih erat pikiran ini mempunyai hubungan dengan Dia. Adapun hubungan pikiran kita dengan Allah (Tuhan Yang Maha Esa), tidak beda dari hubungan antara cahaya matahari dengan zat hijau daun (chlorofil) dari daun-daun. Clorofil yang disinari cahaya matahari membentuk zat tepung, proses demikian dinamai Assimilasi. Demikian pada waktu kita Shalat, pikiran kita yang boleh diibaratkan chlorofil, mengasimilasikan Nur Illahi dan hasilnya ialah pikiran yang bebas dari keinginan dan marah, akan tetapi diisi dengan tenaga mencipta dan menyusun sesuai dengan sifat Illahi
”.
 
◘ Shalat boleh diibaratkan dengan fungsi pernafasan. Shalat boleh diibaratkan pernafasan besar, sedangkan pernafasan biasa dinamakan pernafasan kecil. Seperti pernafasan kecil menjadi fungsi dasar dari pada Jasmani kita, demikian pernafasan besar merupakan fungsi dasar dari pada Rohani kita. Dengan kata lain Shalat ialah fungsi hayati, fungsi biasa dari seorang yang lengkap fa’alnya.

◘ Shalat ialah fungsi hayati (hidup) yang terpenting apabila kita ingin berfikir dengan benar dan ingin mengetahui hakikat kenyataan yang paling akhir. Pernafasan kecil mengandung maksud membersihkan darah dengan menghisap Zat asam/Oksigen dari udara dan mengeluarkan zat asam arang (CO2) dari darah. Pernafasan besar diibaratkan dengan Shalat, mengandung maksud menjernihkan pikiran dan mengeluarkan pikiran ini dari otak terus masuk kedalam Budhi. Didalam Budhi pikiran ini dibersihkan dari semua nafsu-nafsu yang selalu menyertai pikiran kita dengan menghisap Nur Illahi yang datang dari Allah. Lebih banyak orang meninggalkan Agama dan tidak menjalankan Shalat, lebih sering dunia dihinggapi oleh bencana perang, ialah suatu proses bunuh membunuh dengan tujuan apabila menang, dapat makan kenyang. Pemusatan pikiran kearah benda semata-mata berarti kemusnahan, peningkatan pikiran kearah Budhi, terus ke Tuhan, dengan jalan Shalat, berarti hidup sejati, sebagai manusia sejati (Insan Kamil)

◘ Shalat harus menjadi kegiatan dari suatu bangsa yang ingin tentram dan damai, akan tetapi kuat dan sentausa. Didalam riwayat cukup terdapat bukti-buktinya, bahwa suatu bangsa akan runtuh untuk selama-lamanya, apabila bangsa itu meninggalkan moral dan Agama. Cara Shalat yang terbaik ialah cara yang ditetapkan oleh Sabda Allah, yang diturunkan melalui perantara para Nabi dan Rasulnya. Cara Shalat menurut Agama Islam mengadung arti kejiwaan yang dalam sekali : pertama harus diselenggarakan tidak untuk meminta-minta, akan tetapi untuk ber-Takwa kepada Allah, Yang mengaruniakan semua hajat hidup dengan secukup-cukupnya. Ber-Takwa atau berterima kasih kepada Allah pada tiap-tiap waktu, ialah suatu tindakan yang sangat murni bagi tiap orang yang ingin membersihkan diri dari semua kecemaran (kotoran noda/dosa) yang dengan sengaja atau tidak, melekat kepadanya.

◘ Shalat melatih kita supaya tahu berterima kasih. Berhubung dengan itu, maka tidak boleh dilupakan untuk berterima kasih pula kepada mereka, kepada siapa kita berhutang budi. Mengetahui terimakasih, lahir maupun batin, boleh kita ibaratkan membayar hutang. Lain dari pada itu, rasa terima kasih yang meluap-luap, mengantar kita kearah pantai ibadah, dan ada kalanya, pada waktu kita riang gembira dan bersyukur kepada Allah, benar-benar kita singgah dipantai dan bersujud.

Menyicil hutang budi tidak lain dengan mengucapkan terima kasih dengan sungguh-sungguh, yang timbul dari hati yang suci, ialah dengan Shalat, oleh karena semua kemurahan datangnya dari Allah, dan rahmat Allah tidak akan diturunkan hanya untuk yang ber-Shalat, akan tetapi demikian pula untuk mereka yang menghutangkan budi. Terhadap kemurahan Allah yang terbukti didalam kekayaan alam yang semuanya disediakan bagi kita, kita wajib mengucapkan rasa syukur dan terima kasih.

◘ Shalat menurut Agama Islam ialah alat untuk berterima kasih dan syarat bagi tiap orang yang ber-Iman. Sesuai dengan Firman Allah dalam Qur’an Sucinya : “Peliharalah Shalat didalam dua bagian dari siang hari dan didalam waktu permulaan dari pada malam”.

◘ Hendaknya sabar, oleh karena yakin, Allah tidak akan menahan pahalanya bagi mereka yang berbuat baik”

Shalat menurut Agama Islam harus dikerjakan dengan tertib dan teratur, serta tepat pada waktunya, agar semua berjalan dengan teratur dan seragam.

Lain dari pada itu ketertiban menjadi sifat yang terutama dari Kekuasaan yang menguasai seluruh alam, menjadi satu-satunya alat perhubungan antara Khaliq dan Makhluk. Allah menghasratkan ketertiban alam lebih dahulu, sebelum mengadakan sesuatu ; oleh karena itu kekacauan sudah barang tentu itu bukan kehendak Allah.

Apabila seorang menjalankan ketertiban, maka ia sebenarnya memasukan sifat Illahi kedalam sanubarinya; orang yang tertib ialah orang yang ber-Iman, yang mempunyai tenaga batin. Ketertiban adalah mengirit waktu. Siapa yang dapat mengirit waktu akan mempunyai waktu yang terulang yang dapat dipergunakan untuk lain pekerjaan. Hasil pekerjaan oleh karenanya melebihi yang diharapkan. Akibat dari pada ketertiban ialah ketenangan dan ketentraman hati menghadapi tiap-tiap goda dan coba. Ketertiban didalam lahir menimbulkan ketertiban didalam batin, oleh karena tidak ada gangguan dari kekalutan dan kekacauan, hingga kita memperoleh kekuasaan dapat memusatkan pikiran kita. Siapa yang tertib didalam lahir dan batinnya, dengan sendirinya memperoleh tenaga ghaib yang terbukti didalam hasil pekerjaannya yang memuaskan dan mena’jubkan.

Pengertian Shalat Yang Sesungguhnya ialah Menyembah kepada Yang berhak disembah ialah Allah SWT. 

“KANG MENGKANA SEMPURNA ING SEMBAH BEKTI INGKANG SAMPUNG AWAS SEMBAHE TAN ANA KARI SEBDANE AMURANG DALAN. KANG TAN AWAS KANGGELAN DENYA NGABEKTI YEN SIYANG PUWASA PAMUJINIRA DERWILI WEKASANE NORA NANA”.  
Artinya : Sembah/Shalat orang sempurna itu, ialah Manusia yang telah mempunyai wawasan yang tepat, tak ada lagi penyembahan dalam kata-kata, ia menyimpang dari jalan biasa. Barang siapa tidak memiliki wawasan itu dengan susah payah berbakti (Shalat) kepada Allah. Dalam bulan puasa ia berpuasa dan puji-pujian terus menerus mengalir dari mulutnya, tetapi itu semua sia-sia. 

“SAMPURNANING SEMBAH LAWAN PUJI TAN ANDULU MUNGGUH ANANING HYANG TAN DINULU ING ANANE PAPAN TULIS WUS LEBUR SIFAT ING RO TAN ANA KARI MUNG MANTEP ANANIRA APA KANG DEN DULU PAN NORA NA PARAN-PARAN IA IKU YOGYA KAWRUHANA YAYI SAMPURNANING PANEMBAH. LAMUN MAKSIH ANEMBAH AMUJI KAWRUH IKU PAN LAGYA SATENGAH DURUNG TUMEKA KAWRUHE AYWA GUPUH GUMUYU LAMUN DERENG WERUH ING JATI AJA RENA WINEJANG ING WARAH LAN WURUK PAN IKU MEKSIH RARASAN SEJATINE KANG MARI NEMBAH AMUJI LAWAN KEDAL ING LESAN. NAMUN ANENGIRA INGKANG DADI LIRE ENENG YWA DADI TULADAN MRING DALIL HADIST KUDUSE MIWAH TUTUR ING GURU GURU IKU MUNG MUMUCUKI TAN NGUWISI LALAKYAN SABAB IKU DUDU INGKANG ING RANAN DALANG DEDE DALANG ANGUWISI ING SEJATI TOK TIL MUNG DAWAKIRA”. 
Artinya : Sembah dan puji sempurna ialah tidak memandang lagi Adanya Tuhan, serta mengenai adanya diri sendiri tidak lagi dipandang(?). Papan tulis dan tulisan sudah lebur, dua litas tak ada lagi. Adamu tak dapat dirubah. Lalu apa yang masih mau dipandang (?) Tak ada lagi sesuatu. Maklumilah ini baik-baik. Inilah penyembahan sempurna. Bila kau masih menyembah (shalat) dan memuji Tuhan (dengan cara biasa), kau baru memiliki pengetahuan yang kurang sempurna. Jangan dulu tersenyum/bangga (seolah-olah kau sudah mengerti), bila kau belum mengetahui ilmu sejati. Itu semua hanya berupa tutur kata. Adapun kebenaran sejati ialah meninggalkan sembah (Shalat) dan pujian yang diungkapkan dengan kata-kata. Hanya keheningan yang tetap berharga. Keheningan berarti, tidak lagi taklid (selalu mengikuti/ikut-ikutan) menurut kitab Suci atau Hadist atau ajaran seorang Guru. Seorang guru hanya mengawali, tetapi dia tidak dapat menamatkan lakonnya. Bukan dia yang disebut dalang, ia bukan dalang yang menamatkan lakon. Yang dapat menamatkan akhir cerita dari lakon itu sendiri hanyalah engkau sendiri bukan orang lain.

Adapun Jalan untuk mencapai penghayatan manunggal dengan Allah (Tokid = Usaha supaya bisa bersatu dengan Tuhan). Yakni bersatunya antara Badan dengan Jisimnya (Roh-Nya).

Ada empat Macam Shalat atau Sembah, yaitu :
1. Sembah Raga,
2. Sembah Cipta,
3. Sembah Jiwa,
4. Sembah Rasa.
Keempat macam sembah itu secara berurutan merupakan gubahan dari keempat tingkatan dalam ajaran Tasawuf.


SHALAT YANG DITERIMA
Kembali ke masalah Shalat yang sah dan sempurna. Sebelumnya perlu di sadari bahwa shalat memang harus dilaksanakan secara benar dan sempurna, karena inilah salah satu jalan utama menuju Allah. Oleh karenanya masalah ini perlu kiranya dipaparkan secara lebih luas, dalam dan terinci. Berikut adalah sebuah panduan yang di ambil dari Hadits Qudsi. Panduan ini dapat di jadikan sebagai wacana dalam rangka meraih kesempurnaan shalat, sehingga shalatnya syah dan di terima oleh Allah.

“Tidaklah Aku menerima shalat setiap orang. Aku hanya menerima shalat dari orang yang merendah demi ketinggianKU, berKhusyu demi ke agunganKU, mencegah nafsunya dari segala larangan-KU, melewatkan siang dan malamnya dalam mengingatKU, tidak terus menerus dalam pembangkangan terhadap-KU, dan selalu mengasihi yang lemah, dan menghibur orang miskin demi keridho’anKU. Bila ia memanggilKU, Aku akan memberinya. Bila ia bersumpah dengan namaKU, Aku akan membuatnya mampu memenuhinya. Aku akan jaga ia dengan kekuatan-KU dan kubanggakan dia diantara malaikatKU. Seandainya Aku bagi-bagikan Nur-Nya untuk seluruh penghuni bumi, niscaya akan cukup bagi mereka. Perumpamaannya seperti surga firdaus, buah-buahannya tidak akan rusak, dan kenikmatannya pun tak akan Sirna”. (HADISTS QUDSI).

Jadi pada intinya, bahwa shalat tidak hanya terdiri dari gerakan fisik (badan) saja, lebih dari itu yang utama adalah dampak positif dari shalat dapat dirasakan oleh masyarakat dimana dapat ditunjukan dengan perilaku penuh santun dan penuh dengan nilai-nilai kebajikan, misalnya mengasihi dan membantu orang-orang yang lemah. Penting ditekankan disini adalah jika sudah merasa mendirikan shalat jangan sampai menyombongkan diri karena telah melakukan ibadah suci dengan baik. Karena kesombongan diri, baik itu sombong dalam shalat, puasa dan sebagainya sebaiknya harus dijauhkan dari dalam diri kita, jikalau kesombongan itu semakin meraja lela didalam diri kita, maka semua yang kita lakukan akan sia-sia, sehingga perjalanan spiritual kita pun akan menjadi terbengkalai, hancur tiada tersisa.

Kesombongan, egoisme atau riya adalah sebuah sikap atau sifat yang menempel pada diri manusia yang sering kali tidak disadari oleh mereka yang menyandangnya sehingga amat sulit dihapuskan. Itulah kenapa para kaum spiritual selalu mengingatkan untuk menjauhi hal-hal tersebut. Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa :

“JIKA DALAM HATIMU TERDAPAT KESOMBONGAN, RIYA, WALAU ITU HANYA SEBESAR DZARRAH (BIJI) SEKALIPUN, MAKA PINTU CAHAYA (SURGA) TIDAK AKAN TERBUKA”.
 

HAKIKAT SHALAT
INNANII ALLAHU LAA ILAAHA ANA FA’BUDUNII WA AQIMI SHALAATA LIDZIKRII
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, Tidak ada Tuhan Selain AKU. Maka sembahlah AKU dan Dirikan Shalat untuk BerZikir Kepada-KU” (Al-Qur’an Surat Thaaha : 14)

“Bacakan apa yang diwahyukan dari kitab (Al-Qur’an) kepadamu. Dan dirikan shalat. sesungguhnya shalat dapat mencegah orang berbuat keji dan munkar. Dan mengingat Allah (Dzikir) adalah yang paling penting (dalam kehidupan). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Al-Qur’an S.Al-Ankabut : 45)

Yang wajib dalam beragama adalah “Aqoma Din dan Aqimu-Shalat” yang berarti menegakan Agama dan Menegakan Shalat, menegakan berarti sama dengan mendirikannya, dan bukan mengerjakannya, jadi dalam hal ini bukan pengerjaan shalatnya, melainkan penegakannya. Shalat ditegakan untuk mencapai kondisi meditasi. Shalat ditegakan agar tercapai Zikir (Ingat) kepada Allah, jadi yang menjadi sasaran utama itu Zikir-nya bukan pengerjaan shalatnya. Jika shalat tidak menghasilkan zikir kepada Allah, ya sama saja dengan gerak badan dalam bentuk shalat, inilah yang disebut 

“FAWAYLUNLLI MUSHALINA’LLADZINAHUM ‘AN SHALATIHIM SAHUN. ALLADZINAHUM YURA’UN” Yaitu Kecelakaan bagi orang-orang yang mengerjakan Shalat yang tak ada perhatian (tidak ada Kekhusuan dan Zikir) dalam Shalatnya yang ada hanya untuk sekedar pamer/ria.

Ingat kembali Q.S. 20 : 4, dimana diayat tersebut dinyatakan dengan tegas sekali bahwa yang dituju dalam shalat adalah Zikir dan dalam Q.S. 29 : 45 diterangkan bahwa nilai Zikir itu lebih besar dari pada segala ibadah, Mengapa ? Ya, Karena kesadaran itu tumbuh dari Zikir bahkan pencerahan pun dicapai melalui Zikir, bahkan Nabi Muhammad sendiri selalu ber-Tahanus atau ber-Khalwat selama sebulan penuh, pada tiap bulan Ramadhan di Gua Hira. Disana beliau ber-Zikir terus menerus sebelum ia diangkat sebagai Nabi dan Rasul. Diriwayatkan oleh Abudarda’ bahwa Rasululloh SAW, Bersabda :
“ALAA U’NABBI’UKUUM BIHOIRII A’MAALIKUM WA A’ZKAAHAA I’DA MALIIKIKUUM WA’ARFAI’HAA FIDARAZATIKUM WA HOIRUN’LAKUUM MIN I’NFAAQILDZAHABI WALMISSOTTI WAHOIRUN LAKUUM MIN A’NTALQAWW ADUWWAKUM FATAD’RIBUU A’ANAA QOKUUM ; QOLUU TALA YAA RASUULULLAH : QOLA : HUWADZKURULLAHI TA’ALA.
Yang artinya : “Dapatkah aku memberitahukan kepadamu tentang amal terbaik diantara derajat-derajatmu, lebih baik bagimu dari menafkahkan emas dan perak dan lebih baik dari pada menghadapi musuh dalam medan perang sambil penggal-memenggal kepala. “Apakah itu ?’’ Ya Rasulullah, Tanya para sahabat, “ialah dzikir pada Allah” jawab Rasulullah saw.

Dikatakan oleh Rasulullah bahwa Dzikir lebih tinggi dari semua macam ibadah, karena ibadah-ibadah itu adalah jalan kepada dzikir (ingat) pada Allah, maka dzikrullah adalah tujuan utama. Dzikir mempunyai dua cara : Pertama di ucapkan dengan mulut sehingga terdengar oleh telinga, dan yang kedua dilakukan dengan hati dan fikiran yang terpusat hanya kepada Allah tanpa disuarakan dan itulah tingkat teratas dari semua cara-cara berdzikir.

Shalat itu kepunyaan Allah, karena itu tidak terjadi hukum timbal balik, lain halnya dengan Zikir, ini memang aktivitas manusia terhadap Allah dan selanjutnya Allah menyapa balik kepada manusia. Seperti apa yang tertulis dalam Al Qur’an dan Hadist Qudsi : 

“FADZKURUNI ADZKURKUM“ (Karena itu ingat-lah kamu kepada-KU, niscaya AKU ingat pula kepadamu Q.S. Al-Baqarah : 152). 

“MAN DZAKARANII WALAM YAN SANII DZAKARTUHUU WALAM AN SAHUU” 
(Barang siapa senantiasa berZikir, mengingatKU dan tidak melupakanKU, maka AKU selalu mengingatnya, dan tidak akan AKU lupakan - Hadist Qudsi ).

Zikir merupakan hubungan timbal balik, manusia ber-Zikir (ingat) kepada Allah dan Allah pun ber-Zikir (ingat) kepada manusia, karena itu Zikir merupakan sarana untuk manunggal dengan Allah. Pengertian manunggal, bukan manunggal Dzat-Nya, tapi manunggal Sifat, Asma, dan Af’al sang hamba dengan Tuhan-Nya. Dalam istilah jawa disebut “LORO-LORONING ATUNGGAL” Yang berarti Dua tapi Satu adanya. Dan inilah kiranya yang dimaksud dengan TAUHID SEJATI. (Pengesaan Yang Sebenar-benarnya).

Zikir berasal dari kata ZAKARA, Kata ZA yang berarti “Mengingat” , dan KA yang berarti “Memperhatikan”, sedangkan RA yang berarti “Mengisi atau Menuangkan Asma Allah kedalam Lubuk Hatinya. Jadi dalam berZikir kita bukan menyatukan dirinya dengan Dzat Allah, karena Allah meliputi segala sesuatu, tapi yang perlu kita satukan adalah Sifat, Asma dan Af’al Tuhan, agar sesuai dengan Kodrat dan Iradat Allah.

Dan untuk bisa menyatukan diri dengan Allah atau Manunggaling Kawula Gusti, kita harus dapat berSemadi (Tapakur), yakni harus bisa menyatukan perasaan, pikiran dengan Nafasnya dalam berZikir. Puncak dari penyatuan ini adalah ketenangan jiwa, tentramnya qolbu, perasaan dan pikiran dikembalikan kepada Allah dan diiringi dengan perhatian terhadap keluar–masuknya Nafas.

Nafas adalah merupakan wahana bagi sang permana untuk mengunjungi setiap sudut sel-sel kehidupan manusia, sang permana sendiri tergantung pada daya sang Sukma Jati, bila sang permana telah menjangkau semua sudut sel-sel kehidupan badan, maka tenanglah hati manusia. Pancamaya dan Hartadaya yang melekat pada Sukma Jati tidak bergejolak lagi setelah sang permana menjelajah semua sudut sel tubuh ini. Hati yang bergoncang, tenang semua unsur dalam diri manusia menjadi patuh kepada sang pencipta ketika manusia berZikir, karena itu hanya dengan berZikir hati menjadi tenang.

Puncak dari Zikir adalah kondisi diam, sunyi dari perasaan dan angan-angan, dan hasilnya perasaan tenang dan tenteram.

Adanya Allah karena Zikir. Pada saat Zikir manusia tenggelam dalam dirinya sendiri, Dzat, Sifat, Asma dan Af’al Tuhan digulung menjadi Antaya dan Rasa dalam diri. Apakah Antaya itu ? Antaya adalah angan-angan yang tampak nyata dalam diri kita, ketika orang itu sedang berzikir.

Ada Antaya dan Rasa dalam diri pada saat Zikir sehingga terjadilah “JADAB” semacam hilangnya kesadaran diri, dan meluncurlah ucapan “ANA AL-HAQ” atau Saya Tuhan dan sayalah kebenaran itu. Timbulah pengakuan bahwa dirinya telah menjadi Zat Yang Mulia. Sehingga banyak orang yang berZikir merasakan kedekatannya dan pertemuannya dengan Allah, sehingga seolah-olah kita larut dan hanyut tenggelam dalam samudra Tauhid yang tak bertepi.

Adapun Manusia dan Allah adalah satu Realita, bukankah Allah senantiasa beserta manusia, dimana saja kita berada “WAHUWA MA’AKUM AINAMAA KUNTUM” (Allah bersama kamu, dimanapun kamu berada. Q.S. Al-Hadid (57) : 4 ).

Dalam berSAHADAT dianggap sebagai kepalsuan mengapa? karena Sahadat umumnya hanya sebatas bibir, sebatas menyebut namanya, dan sebenarnya banyak orang yang berSahadat tapi tidak benar-benar menyaksikan Allah, dia hanya baru sampai mengucapkan Sahadat.

Adapun pembakuan makna Zikir sekarang justru telah mengaburkan arti yang sesungguhnya, ada yeng menghitung jumlah Zikirnya dengan tasbih, ada yang menggunakan mesin hitung dll. Yang jelas Zikir mereka tidak “tanpa pamrih”. Ada yang menginginkan rejeki, adapula yang menginginkan sorga, sehingga dengan hal demikian Cinta kita kepada Allah belum menjadi Kasih, karena masih bersyarat atau masih bersifat Pamrih (Meminta sesuatu balasan Jasa atau upah atau pahala dsb).

Tapi jika Zikir diterjemahkan sebagai “Meditasi atau Tafakur“ Maka hidup kita harus menjadi “Akhand Japa” (Zikir yang tak pernah berhenti), tidak perlu menggunakan tasbih, tidak perlu menghitung jumlah, karena apapun yang kita lakukan harus dilakukan dalam semangat Zikir, makan dalam Zikir, minum dalam Zikir, berarti kita makan dan minum dengan penuh kesadaran, jangan-jangan makanan dan minuman yang mengisi perut kita adalah hasil rampasan hak orang lain, bekerja di kantor dalam Zikir, jangan-jangan pekerjaan ini hanya menguntungkan kita tetapi merugikan orang lain. 

Hadist Qudsi : “YAA IBNA ADAM ! TAFARRAGHLI DZIKKRII ADZKURUKA ‘ INDAMAAIKATII” (Hai anak Adam! Kosongkan waktumu guna mengingat, berZikir kapadaKU, niscaya AKU akan menyebutmu dihadapan Malaikat-MalaikatKU). 

“YAA IBNA ADAM! LAA YADKHULU JANNATII ILLA MAN TAWADLA’A LI’ADHOMATII WA QATHA’A NAHAARAHUU BI DZIKRII WA KAFFA NAFSAHU’ ANISSY SYAHAWAATI MIN AJLII (Hai anak Adam ! Tak akan memasuki Syorgaku (tempat-KU) kecuali orang-orang yang tunduk dengan ke AgunganKU, dan hari-harinya ia lalui untuk mengingat (Ber-Zikir kepadaKU), serta yang dapat mencegah dirinya dari hawa nafsu hanya karena Aku).

Zikir harus di artikan sebagai kesadaran yang mewarnai segala aspek kehidupan. Mengingat Allah setiap saat dan disetiap tempat, baik itu di dalam Masjid, di rumah, di dalam kamar mandi, kamar tidur, ruang kerja. Dan Allah berada di semua arah dan tempat, karena kemanapun kita pergi, dimanapun kita berada semua yang kita lihat dan kita saksikan hanyalah WajahNya. “AIYNAMAA TUKKUU FASAMMA WAJ’HU LLAAHI” (Kemanapun kita menghadap, disanalah Wajah (Zat) Allah. (Q.S. 2 : 115).

Adapun Zikir Khusus yang harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari tersebut adalah Zikir Akhfa yakni Zikir yang tidak lagi terucapkan oleh mulut dan hati, berjalan setiap saat, seperti perjalanan Nafas kita ini. Setiap saat Zikir, artinya setiap saat sadar dalam keadaan apapun, baik sedang bertransaksi ekonomi, berdagang, bekerja, bergaul, beristirahat, makan-minum, aktif dikantor, aktif diluar rumah, bercengkrama, dan berhubungan intim dengan istri, maupun lagi buang air, Zikir senantiasa berjalan seperti Nafas kita. Betapa nikmatnya buang air tat'kala Zikir terus menerus berlangsung, sekali lagi hal ini menyangkut tingkat kesadaran dalam memahami Zikir sebagai kesadaran. Tuhan pun harus disadari sebagai “KESADARAN AGUNG” dalam Al-Qur’an kesadaran Agung ini juga dinyatakan sebagai Yang Maha Mendengar, Lagi Maha Melihat, jadi DIA senantiasa melihat dan mendengar, yang senantiasa SADAR “Samiul Bashir”. Q.S. 31 : 28. (Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat). 


SELANJUTNYA TENTANG APLIKASI SHALAT DALAM HIDUP SEHARI-HARI
Tentang Aplikasi (Penerapan) Shalat dalam hidup sehari-hari, Shalat memang harus didirikan untuk membangkitkan kesadaran. Kaitan Shalat dengan Zikir bisa di umpamakan seperti system pengisian Baterai atau ACCU pada mobil/motor. Baterai/Accu pada mobil tersebut harus selalu memberikan tenaga listrik ketika mesin mobil bekerja, tapi ia harus selalu diisi oleh dinamonya, jadi Zikir senantiasa harus ada ketika manusia beraktivitas, dan hilangnya energi batin selama beraktivitas harus diisi kembali dengan Shalat, Sembahyang/Shalat atau apapun namanya yang tujuannya adalah untuk membangkitkan kesadaran.

Kesadaran yang timbul inilah, yang harus bekerja mewarnai segala tindakan, ucapan, dan pikiran manusia. Sekali lagi kesadaran yang timbul atau yang bangkit/yang bekerja, bukan lagi pamrih atau dorongan hawa nafsu yang menggerakannya melainkan kehendak Allah yang terjadi, dan bukan kehendak Egonya.

Pada tingkatan awam, mereka tidak memahami bila yang dituju dalam Shalat itu bukan semata-mata menggerakan anggota badan, dan yang dimaksud dengan orang awam disini, tak ada hubungannya dengan posisi seseorang ditengah masyarakat, apakah itu seorang tokoh, ulama, kiai, atau Ustad. Tapi yang dimaksudkan awam disini adalah mereka-mereka yang tingkat kesadaran jiwanya masih didominasi atau dikuasai oleh Nafsunya sendiri, sehingga terjadilah sifat keakuan pada diri, merasa dirinya yang paling benar, sehingga dari sini lahirlah jiwa/sifat pamrihnya atau keakuannya atau pikirannya yang terbatas alias Taklid pada sesuatu hal.

Adapun gerakan dan waktu pelaksanaan yang dimaksudkan dalam Shalat adalah Riyadhoh untuk membangun kedisiplinan hidup, karena itu shalat yang tidak dapat membangkitkan kesadaran tak lebih dari “gerakan badan” atau senam. Ada yang bertanya, kalau gerakan shalat itu tidak lebih penting dari tujuannya mengapa Nabi Muhammad senantiasa menjalankan shalat seperti yang dicontohkannya kepada umatnya???

Disini kita perlu ketahui bahwa Diri atau Pribadi Nabi Muhammad itu sudah bukan milik dirinya lagi, beliau sudah menjadi milik umatnya, dan beliau sudah memberi contoh Suri tauladan yang baik, dan secara general kepada umatnya, yang waktu itu keadaan orang-orang Arab baru terbebas dari keadaan Jahiliah (kebodohan), dimana hukum dan aturan kala itu masih semrawut, sehingga dengan bentuk disiplin lahiriah, Nabi tidak menjadi pemimpin bagi umatnya yang masih bermalas-malasan. Dengan gerakan shalat secara lahiriah itu, beliau mengajarkan, serta menerapkan kedisiplinan kepada umatnya, sehingga bila ada umat yang tidak mengerjakan shalat secara utuh, maka dia dengan mudah bisa mengingatkannya, bahwa Nabi pun masih menjalankannya, Sehingga dengan contoh yang beliau terapkan itu, akhirnya beliau berhasil mengajak mereka untuk mengikuti segala ajaran dan seruannya dalam memasuki Agama Islam Yang Kaffah. Betapapun kerasnya hati orang arab .kala itu, akhirnya dapat diluluhkan dengan kelembutan dan kesabaran Nabi Muhammad SAW.

Kembali kepada shalat yang berfungsi untuk membangkitkan kesadaran. Pada Al-Qur’an surat Al-Ma’arij ayat 19 – 23, disini dijelaskan :

: “Sesungguhnya Manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir”
: “Apabila ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah”
: “Apabila mendapat rejeki (kekayaan/kesenangan) ia amat kikir”
: “Kecuali orang-orang yang mengerjakan SHALAT”
: “ALLADZIINAHUM A’LAA SHALATIIHIM DAA’IMUN”
(Yaitu, mereka yang tidak putus-putus menjalankan Shalatnya (Shalat Daim).

Shalat Daim adalah shalat yang tidak pernah terputus artinya shalat 5 waktu itu tidak pernah absent (telat), tapi kalau kita melihat kenyataan, banyak orang yang tidak pernah absent Shalatnya tapi masih tetap hidup gelisah, bahkan tidak bisa menghindarkan diri dari jebakan dosa-dosa dalam kehidupan ini. Jadi jelaslah disini bahwa kita harus lebih berpegangan pada makna shalat sebagai hubungan atau persatuan dengan Allah. 

Sedangkan gerakan hanyalah sebuah bentuk atau cara semata. Adapun Shalat dimaksudkan untuk berZikir atau berMeditasi, agar terciptanya “Khusyuk” dan berfungsi untuk membangkitkan kesadaran. Bentuk shalat dapat terputus oleh waktu, keadaan, tempat, geograpi dan situasi kondisi. Dan hal ini sebenarnya dipahami betul oleh kaum muslim, misalnya dikendaraan atau di pesawat, pesawat ruang angkasa dan lain sebagainya. Shalat cuma dilakukan dengan isyarat, dan berdasarkan ayat tersebut Shalat memang harus Da’im, tak pernah terputus artinya Zikir dan Shalat berlangsung terus seperti hubungan baterai dan dynamo listrik, setiap saat kita isi dan selalu siap digunakan. 

Didalam sebuah Hadist yang terdapat dalam Kitab Ihya Ulumudin dari Al Ghazali, disana disebutkan bahwa sesungguhnya : “Allah tidak memperhatikan Shalat seseorang yang tidak menghadirkan Hati dan Badannya”. 

Adapun yang dimaksud tidak menghadirkan Hati disini adalah banyak orang yang berShalat tapi tidak ada kekhusuan dan perhatian pada shalatnya dikarenakan hatinya lalai kepada selain Allah. Adapun yang dimaksud tidak menghadirkan Badannya disini adalah Bahwa dilain sisi hati ber-Zikir kepada Allah, tapi perilaku dan perbuatannya tidak mencerminkan kerendahan hatinya.

Ada Cerita Tentang Shalat Khusyuk

PERTAMA : Kisah Ali bin Abi Thalib, suatu hari terkena panah dalam sebuah peperangan, tetapi dia meminta sahabat lainnya untuk mencabut panah tersebut tatkala dia sedang Shalat. Sahabat mencabutnya dan Ali tidak mengaduh sama sekali, inilah “Khusyuk” atau Fana atau Samadhi sehingga badan jasmani terasa lenyap.

KEDUA : Muslim bin Yasar, seorang Sufi, bila shalat tidak dapat lagi mendengarkan percakapan anggota keluarganya.

KETIGA : Imam Al-Ghazali adalah seorang Sufi Islam yang sangat terkenal. Ada perbedaan keSufian antara Al-Ghazali dengan Al Arabi dan Ar Rumi. Arabi dan Ar Rumi dikenal sebagai Sufi Filsafat, sedangkan Al Ghazali dikenal sebagai Sufi Fikiyah. Yaitu Sufi yang merasa sangat terikat dengan Syariat (Aturan). Al Ghazali memiliki saudara laki-laki yang juga Sufi, tapi tidak terkenal, namanya Imam Ahmad, suatu hari Imam Al Ghazali memimpin Shalat berjamaah, tetapi ternyata Imam Ahmad shalat sendirian disudut Masjid. Selesai shalat, para jemaah agak ribut menyaksikan Imam Ahmad yang tidak ikut berjamaah, beberapa jemaah mendatangi Imam Al-Ghazali dan mencoba menanyakan alasannya, mengapa saudara Al-Ghazali tersebut tidak ikut berjamaah, padahal Al-Ghazali adalah seorang Imam terkenal. Ada apa??? selesai shalat dan zikir Imam Ahmad dihampiri oleh Al Ghazali dan bertanya tentang alasan saudaranya ini memilih shalat sendirian, adapun jawaban Imam Ahmad tersebut, katanya ketika ia hendak ikut shalat berjamaah, ia melihat Hati (Qolbu) Al Ghazali sedang memikirkan dalil-dalil tentang fikih wanita yang mengalami menstruasi, Atas jawaban saudaranya tersebut Imam Al Ghazali membenarkannya, dan Ia mohon ampun kepada Allah. Sehingga dari pengalaman itulah Al Ghazali semakin banyak berUzlah atau berKhalwat agar hatinya dapat menjadi Khusyuk.



HAKIKAT SHALAT SEJATIUTANING SARIRA PUNIKI ANGAWRUHANA JATING SHALAT, SEMBAH LAWA PUJINE, JATINING SHALAT IKU DUDU NGISA TUWIN MAGERIB, SEMBAHYANG ARANEKA WENANGE, PUNIKU LAMUN ARANA SHALAT PAN MINANGKA KEKEMBANGIN SHALAT DA’IM INGARAN TATA KRAMA”.
Artinya : Unggulnya diri itu mengetahui Hakikat Shalat, sembah dan pujian, shalat yang sebenarnya bukan mengerjakan Shalat Isa dan Maghrib, itu namanya sembahyang. Apabila disebut Shalat, maka itu hanyalah hiasan (kulit luarnya) dari Shalat Da’im, hanyalah tatakrama.

Adapun Shalat 5 Waktu adalah ibadah shalat yang termasuk kedalam “Hablum Min’nanas” yakni hubungan manusia dengan manusia, karena bentuk dari ibadah pelaksanaannya harus diketahui oleh orang lain atau diketahui oleh sesama manusia baik itu di rumah, disurau maupun di Masjid.

Adapun Hablum Minallah yakni hubungan manusia dengan Allah adalah hubungan yang sangat pribadi, yang tidak mungkin diketahui oleh orang lain apalagi oleh sesama manusia, karena yang tahu hanyalah kita dan Allah, bukankah didalam Shalat terkandung hubungan hamba dan TuhanNya. Dan hubungan ini tidak semestinya diketahui oleh orang lain.

Jadi jelas sekali bahwa orang yang unggul adalah orang yang mampu memahami dan menghayati Kesejatian Shalat. Bukan orang yang tidak pernah telat mengerjakan shalat 5 kali sehari itu yang unggul, tapi justru yang unggul itu adalah orang yang telah memahami dan menghayati Hakikat dari Shalat. Sembah dan pujian itulah yang unggul, karena Inti dari Shalat bukan sekedar pelaksanaannya atau pengerjaannya semata-mata, tapi juga adalah Penegakannya (Aqimu Shalat Wa Qiyamuhu bi Nafsihi).

Seorang Wali Sanga atau Yang lebih dikenal dengan sebutan “Sunan Bonang” (Syekh Rohmat), dimana beliau pernah menulis didalam Kitabnya:

“ENDI INGARAN SEMBAH SEJATI AJA NEMBAH YEN TAN NORA WERUH KANG SINEMBAH ING DUNYA IKI KADI ANULUP KAGA, PUNGLUNE DEN SAWUR MANUKE MANGSA KENAA, AWE KASA AMANGGERAN ADAM SARPIN, SEMBAHE SIYA-SIYA
. Artinya : Manakah yang disebut Shalat Sejati (Shalat yang sebenarnya), janganlah menyembah bila tidak tahu siapa yang di sembah, akibatnya akan direndahkan martabat hidupmu. Apabila engkau tidak mengetahui siapa yang disembah di dunia ini, engkau seperti menyumpit burung, dimana pelurunya disebar tetapi tidak satupun yang mengenai burungnya, akhirnya Cuma menyembah Adam Sarpin, penyembahan yang tiada berguna.

Adapun ungkapan : JANGAN MENYEMBAH BILA TIDAK TAHU SIAPA YANG DISEMBAH?
Yang dimaksudkan disini adalah bahwa yang diperintahkan di dalam Al-Qur’an adalah “AQIMU SHALAT (Menegakan/mendirikan Shalat)”, Menegakanmendirikan shalat tidak sama dengan mengerjakan atau menjalankan shalat, juga tidak sama dengan mempelajari dalil-dalil shalat. Mengerjakan shalat lebih cenderung hanya sekedar menjalankan ritual upacara lahiriah belaka, sedangkan justru yang dikehendaki oleh Al-Qur’an tentu saja tidak demikian, karena kata kerja yang digunakan untuk menyatakan perbuatan shalat adalah “Aqama” yang artinya adalah menegakan sesuatu dalam arti yang sebenarnya. Sedangkan arti shalat sendiri adalah permohonan atau Do’a.

Dalam shalat terkandung tindakan WASHOLA yaitu menyatukan diri dengan Allah, jadi termasuk dalam menegakan shalat adalah menegakan subtansi atau semangat dari shalat, sama dengan menegakan Agama.

Shalat harus dilakukan dalam keadaan sadar sepenuhnya, didalam Al-qur’an Surat An-Nisa (4) : 43, disebutkan bahwa dalam shalat setiap kata yang di ucapkan harus dimengerti (kepada siapa dan untuk siapa kata dan ucapannya ditujukan). Shalat baru dapat dilakukan bila setiap kata yang diucapkan diketahui kepada siapa kata ini ditujukan, dalam keadaan inilah orang mengerti kepada siapa dia melakukan penyembahan, tanpa mengetahui siapa yang disembah, jelas itu hanya pekerjaan sia-sia. Disebut sebagai orang yang menyembah Adam Sarpin atau Makdum Sarpin berarti sesuatu yang tidak ada objek dan tujuannya, dan hanya orang bodoh (tidak sadar) yang mau melakukan pekerjaan yang sia-sia. Hal semacam inilah disebut sebagai orang yang direndahkan martabat hidupnya.

Shalat atau penyembahan yang berguna adalah shalat yang dapat mencegah terjadinya “Fakhsya” dan “Munkar”, dengan ayat ini sebenarnya yang harus menjadi perhatian ulama Islam adalah Hakikat atau tujuan Shalat, malah justru mereka disibukan untuk memperhatikan orang yang mengerjakan shalat sehingga akhirnya timbul perasaan sinis dan berpandangan Negatif terhadap orang yang tidak mengerjakan shalat, apalagi yang jarang hadir ke Mesjid. Yang ujung-ujungnya mereka lebih tertarik kesangkarnya daripada burungnya, kita lebih tertarik kulit daripada isinya, mereka hanya sibuk mengurus pengerjaan dan pelaksanaan shalatnya ketimbang Penegakannya.

Adapun yang dimaksud dengan Keji dan Munkar didalam shalat yaitu :
Perbuatan Keji : adalah perbuatan hina dan menjijikan yaitu perbuatan hati yang penuh dengan sifat Iri, dengki, dendam, dan sejenisnya.

Sedangkan Perbuatan Mungkar : adalah perbuatan yang nyata-nyata ditolak oleh masyarakat seperti : Dzalim, judi, mabuk-mabukan, per-Jinahan, kolusi, korupsi, per-canduan dll. Jadi kalau orang betul-betul sudah menegakan shalat, niscaya tidak akan ada lagi KKN, meskipun pemimpin, pejabat negara, tokoh masyarakat yang tak pernah kemesjid, tidak kelihatan shalat bersama, tapi kalau mereka sudah benar-benar menegakan shalatnya niscaya kita akan mendapatkan pemerintahan yang bersih, dan tentu saja akan lebih baik jika pemimpin tersebut memberikan suri tauladan yang baik, dengan rajin pergi ke Masjid untuk mengerjakan shalat secara berjemaah, agar tercipta suasana yang kondusif. Suasana yang aman, nyaman dan bersahabat.

Seperti yang telah kita bahas diatas bahwa shalat 5 kali sehari itu hanyalah tata krama dalam kehidupan beragama Cuma kiasan. Sedangkan shalat yang sesungguhnya disebut sebagai “Shalat Dha’im” yaitu shalat yang tidak pernah terputus oleh waktu dan tempat, dimanapun kapanpun, baik dalam situasi keadaan apapun dan dimanapun.

“AIYNAMAA TUKKUU FASAMMA WAJ’HULLAHI” (Kemanpun kita menghadapkan diri kita, maka disanalah wajah Allah. Q.S : 2 : 115).

Maksudnya : Bahwa Shalat Daim itu tidak lagi mengenal arah, waktu maupun tempat, karena dimana pun kita berada yang kita Ingat ataupun kita lihat hanyalah Wajah Allah.

“ALLADZINA YADZKURUUNALLAHA QIYAAMAA WAQU’UDAA WA A’LAA JUNUUBIHIM WAYA TAFAKKARUUNA FI KHALQI SAMAWATI WAL ARDHI” (Merekalah orang-orang yang selalu ber-Zikir mengingat Allah, baik di waktu berdiri, duduk dan berbaring. Dan selalu memikirkan tentang kejadian langit dan bumi. Q.S. 3 : 191).

“ALLADZIINAHUUM ALAA SHALATIHIM DAA’IMUN” (Dan merekalah yang tetap khusyu (secara terus menerus hatinya ber-Zikir mengingat Allah ) dalam Shalatnya. Yang tidak pernah lupa meski sehembus Nafas, yang tidak pernah terlena meski sedenyut jantung, dan tidak pernah lalai walau sekedip mata (itulah SHALAT DA’IM) . (Q.S. AL-MA’ARIJ : 22). 

Seperti yang dikutipkan oleh Hujatul Islam tanah Jawa yaitu Syekh Malaya atau yang lebih dikenal Sunan Kali Jaga dalam Kitab-nya :

“PANGABAKTINE INGKANG UTAMA, NORA LAN WAKTU SASOLAHIRA, PUNIKA MANGKA SEMBAHE, MENENG MUN, PUNIKU SASOLAHE RAGAN’ REKI, TAN SIMPANG DADI SEMBAH, TEKENG WULUNIPUN, TINJA TURAS DADI SEMBAH, IKU INGARANAN NIYAT KANG SEJATI, PUJI TAN PAPEGATAN
”.
Maksudnya : Kebaktian (Shalat) yang unggul itu tidak mengenal waktu, semua tingkah lakunya, itulah sembahyangnya, diam, bicara, dan semua gerak gerik badannya merupakan sembahyang, hingga wudhu, berak, dan kencingnya pun merupakan sembahyang, itulah yang disebut niat yang sejati, Pujian yang tak putus-putusnya.

Shalat Daim disebut kebaktian yang unggul !, karena semua tingkah lakunya merupakan wujud dari sembahyang. Dan tidak mengenal waktu, ya makna “Da’im” memang terus menerus tak pernah berhenti, tak pernah putus-putus, itulah Da’im. Jadi shalat Da’im adalah shalat sepanjang hidup, diam, bicara, bekerja, istirahat, makan-minum, tidur maupun bangun senantiasa shalat, semua gerak tubuh ini merupakan sembahyang, bukan hanya wudhu bahkan tatkala ber-tinja dan kencingpun dalam keadaan shalat.

Coba kita lihat lagi Hakikat Shalat yang termaktub dalam Al-Qur’an surat Thaha (20) : Ayat 14, disana tertulis dengan jelas : 
INNANII ALLAHU LAA ILAAHA ANA FA’BUDUNII WA AQIMI SHALAATA LIDZIKRII
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, Tidak ada Tuhan Selain AKU. Maka sembahlah AKU dan Dirikan Shalat untuk Ber-Zikir Kepada-KU” (Al-Qur’an Surat Thaaha : 14)

Jadi jelas, bahwa shalat itu didirikan untuk ber-Zikir kepada Allah, kalau dalam bahasa sehari-hari, shalat merupakan kewajiban minimal dalam ber-Zikir. Artinya bahwa dalam hidup ini, bangun dan tidur seharusnya ber-zikir terus menerus, kapan saja dan dimana saja harus ber-zikir (ingat kepada Allah), tapi nyatanya kebanyakan orang tidak bisa menjalani hidup yang demikian ini, makanya disediakan waktu Zikir secara khusus seperti yang diterapkan Nabi Muhammad SAW kepada umatnya, yaitu 5 kali dalam sehari, yang kita kenal dengan shalat 17 rakaat.

Shalat Da’im adalah shalat yang tidak memerlukan lagi sesuatu/ tanpa perantara, yakni shalat tanpa menggunakan air wudhu untuk menghilangkan hadast besar/kecil, Itulah Shalat batin yang sebenarnya. Shalat yang didalamnya seseorang boleh makan-minum, tidur, bersenggama (dengan istri), maupun buang kotoran, hal ini disampaikan Syekh Malaya atau Sunan Kalijaga, setelah ia mendapatkan pelajaran yang sebenarnya dari Nabi Khidir A.S.

Adapun Maksud sebenarnya dari Shalat 50 Rakaat atau shalat 50 kali dalam sehari, yang dititahkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW, sebenarnya mengandung maksud tujuan yang paling mendasar dalam hal berIbadah kepada Allah. Adapun dasar tujuan utamanya adalah agar manusia selalu ingat berZikir kepada Allah.

Jika dalam waktu 24 jam, kita bagi menjadi 8 jam untuk makan, tidur, mandi dan lain-lain, maka sisanya adalah 16 jam. Jika angka 50 rakaat tadi kita bagi dengan sisa waktu yang 16 jam, maka hasilnya akan menjadi 3 koma sekian. Berarti setiap jam harus melaksanakan Shalat 3 kali, lalu jika setiap shalat memakan waktu 10 menit saja, berarti 30 menit untuk shalat, sisa 30 menit lagi untuk mencari nafkah.

Maka dibalik apa yang tersurat, ada yang tersirat dalam shalat 50 rakaat tersebut, yang dimaksudkan adalah bahwa Shalat harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hidup dan kehidupan manusia. Jadi setiap saat harus dilewati dalam keadaan shalat, yang harus didirikan, dibangkitkan dan harus mewarnai setiap tindakan, ucapan, dan pikiran manusia. Pantas saja didalam Al Qur’an Allah memberitahukan : 

“INNAMAA LAKABIRATUN ILLA A’LAL KHOSYI’UN - ALLADZIINAHUM ALAA SHALATIHIM DAA’IMUN” (Sesungguhnya SHALAT itu berat sekali, kecuali bagi orang-orang yang khusyu. Yaitu mereka yang tetap terus menerus mengerjakan shalat (dalam hidup dan penghidupannya), yang tidak pernah lupa meski sehembus Nafasnya, yang tidak pernah terlena meski sedenyut jantung, dan tak pernah lalai walau sekedip mata. Q.S ;2 : 45 – Q.S ; AL-MAARIJ : 22).

Ibadat tidak dapat dilepaskan dari makna dan tujuan yang mendasari ibadat. Ambil saja Shalat, makna atau tujuan dari shalat adalah berZikir kepada Allah. Tapi justru kebanyakan kita lupa kepada makna dan tujuannya. Kita malah asyik dengan pelaksanaan dan pengerjaan shalatnya saja, ketimbang Zikirnya. Padahal suatu gerakan tak mungkin merubah suatu keadaan akan menjadi lebih baik, bila dalam shalatnya kita lupa akan tujuannya, bukankah Allah sudah memberitakan kepada kita semua “WADZKURULLI ADZKURKUM” BerZikirlah kepadaKU, niscaya AKU akan berZikir kepadamu. Dan bila kita mampu mencapai tahap Zikir dalam keadaan bergerak, baik dikala Berdiri, Rukuk, Sujud, dan Duduk dalam satu kesatuan, maka terciptalah ketentraman batin.

Didalam shalat ada “WASHALA”, yakni tindakan untuk menghubungkan atau menyatukan Diri dengan Allah. Bila hal ini tercapai maka lahirlah “Kasih (Rahim-Allah)” yang wujudnya adalah tercegahnya seseorang yang menegakan/mendirikan shalat dari perbuatan dan tindakan FAKHSYA (Keji) dan MUNKAR, bahkan di ayat ini dinyatakan dengan tegas, bahwa nilai Zikir itu lebih besar daripada ibadat-ibadat lainnya Q.S. 29 : 45.

Tujuan Shalat itu untuk mencegah perbuatan dan tindakan Keji dan Munkar, bukan untuk mendapatkan SORGA, jika orang sudah tidak berbuat Keji dan Munkar, maka SORGA-nya akan datang dengan sendirinya. Seseorang dikatakan terbebas dari perbuatan dan tindakan Keji bila ia sudah tidak lagi melakukan perbuatan yang memalukan, tidak lagi berbuat yang menjijikan, ia bebas dari perbuatan dan tindakan munkar bila ia tidak melakukukan pelanggaran terhadap hukum yang berlaku.

Orang hanya bisa mengajarkan TATA CARA SHALAT dan melakukan pengerjaan shalatnya ketimbang mengajarkan bagaimana supaya kita dapat Menegakan/mendirikan shalat itu dalam praktek nyata di kehidupan sehari-hari. Seorang petani yang berangkat pagi-pagi ke sawah, lalu melakukan pekerjaan di sawah dengan benar tanpa pamrih, itu artinya ia telah melakukan shalat secara nyata, dengan kata lain, orang yang mengerjakan pekerjaannya dengan benar dan LILLAHI TA’ALLA, bukan karena egonya berarti dia telah melaksanakan Shalat Sejati yakni Shalat yang sebenarnya atau disebut dengan Shalat Da’im.

Adapun pelaksanaan shalat 5 waktu, itu bukan shalat yang sebenarnya, dan kalau toh itu tetap disebut shalat, maka pelaksanaan shalat yang tampak terlihat secara lahiriah ini, hanyalah hiasan dari pada Shalat Da’im, yakni hiasan atau bungkus atau baju dari shalat yang sebenarnya.

Shalat Da’im adalah shalat yang ditegakan secara terus menerus tak pernah putus, baik ketika melek/terjaga maupun ketika tidur. Baik ketika bekerja maupun sedang beristirahat. Shalat 5 waktu hanya Tata Krama, sedang Shalat Da’im. Shalat yang sebenarnya adalah menyadari keberadaan Hyang Maha Agung dihadapan dirinya sendiri, dan dia merasa bahwa dirinya sirna/lenyap. Sehingga semua tingkah lakunya merupakan shalatnya, berwudhu, buang air besar dan kecil, semuanya merupakan sembah, itulah yang disebut niat yang sejati dan pujian yang tak pernah putus.


Makna Niat Shalat
Sekarang perihal Niat, sebagaimana yang telah diutarakan bahwa berwudhu harus disertai niat. Tanpa niat, sama saja dengan membersihkan bagian-bagian tertentu dari anggota badan. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari disebutkan bahwa “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung niat-nya,” [Innama al-amal bi al-niyat]”. Hadits ini amat popular dikalangan awam.

Ajaran tentang niat ini pun diajarkan oleh Syekh Syaripudin (Sunan Bonang) dalam kitabnya yang disebut dengan Suluk Wujil. Dijelaskan dalam bait 40 pada suluk tersebut sebagai berikut :

Niyat iku luwih saking amale ponang akathah, nora basa swara reke, niyating pingil iku kang gumelar nyananireki sajatine kang niyat nora niyatipun niyating pingil gumelar niyating sembahyang nora bedaneki lan niyat ambe begal.
Artinya : Niat itu lebih utama dari amalan yang banyak. Niat itu bukan bahasa maupun suara! Niat itu untuk melakukan tindakan yang ada di dalam pikiran. Sesungguhnya yang disebut niat itu bukan pada niatnya, tetapi niat untuk melakukan tindakan yang terungkap. Kalau hanya niat, maka niat sembahyang tiada bedanya dengan niat merampok.

Kata niat dalam bentuk “Umniyyat” ditemukan pada ayat Q.S. 22: 52. Yang dimaksud adalah kehendak untuk melakukan sesuatu. Ya niat memang merupakan dorongan untuk melakukan atau mengerjakan sesuatu. Karena itu, niat bukan berupa bahasa atau suara. Ajaran ini bukan untuk menyalahkan orang yang mengucapkan niat ketika hendak mengerjakan sembahyang atau lainnya. Yang dimaksud dalam ajaran suluk tersebut, niat itu tidak sebatas ucapan, baik itu ucapan dalam hati atau melalui mulut. Niat, tidak demikian! Kalau hanya berupa ucapan [bersuara atau dalam hati], maka itu sama saja antara mengucapkan niat untuk bersembahyang maupun merampok. Niat yang demikian, jelas tidak lebih utama daripada perbuatan.

Niat disebut lebih penting, daripada amalan yang banyak, bila mana niat itu merupakan kehendak untuk melakukan sesuatu yang sudah digagas dalam pikiran. Niat semacam inilah yang membedakan antara perbuatan bajik dan perbuatan jahat. Niat semacam inilah yang disebut dalam suatu hadist sebagai niat yang lebih baik daripada amalnya. 



Posting Komentar

0 Komentar