Hakikat dari tawassul adalah cara berdo’a, sedang sesuatu yang dijadikan wasilah hanyalah sarana, dan yang dituju dan dimintai pertolongan hanyalah Allah, lain tidak.
Karena itu, para ulama seperti al- Imam al-Hafizh Taqiyyuddin al-Subki menegaskan bahwa tawassul, istisyfa’, istighatsah, isti’anah, tajawwuh dan tawajjuh memiliki makna dan hakikat sama, Mereka mendefinisikan tawassul – dan istilah – istilah lain yang sama – dengan definisi sebagai berikut :
Ide dasar dari tawassul ini adalah sebagai berikut. Allah SWT telah menetapkan bahwa biasanya urusan–urusan di dunia ini terjadi berdasarkan hukum kausalitas; sebab akibat. Sebagai contoh, Allah Subhanallahu wata’ala sesungguhnya Maha Kuasa untuk memberikan pahala kepada manusia tanpa beramal sekalipun, namun kenyataanya tidak demikian. Allah memerintahkan manusia untuk beramal dan mencari hal- hal yang mendekatkan diri kepada-Nya, seperti tercantum dalam surat Al Maidah:35ayat berikut:
Ayat ini menunjukkan untuk mencari segala cara yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Artinya, carilah sebab – sebab tersebut, kerjakanlah sebab – sebab itu, maka Allah akan mewujudkan akibatnya. Allah SWT telah menjadikan tawassul dengan para nabi dan wali sebagai salah satu sebab dipenuhinya permohonan hamba. Padahal Allah Maha Kuasa untuk mewujudkan akibat tanpa sebab – sebab tersebut. Oleh karena itu, kita diperkenankan bertawassul dengan para nabi dan wali dengan harapan agar permohonan kita dikabulkan oleh Allah SWT.
Jadi, tawassul adalah sebab yang dilegitimasi oleh syara’ sebagai sarana dikabulkanya permohonan seorang hamba. Tawassul dengan para nabi dan wali diperbolehkan baik di saat mereka masih hidup atau mereka sudah meninggal.
Karena seorang mukmin yang ber-tawassul tetap berkeyakinan bahwa tidak ada yang menciptakan manfaat dan mendatangkan bahaya secara hakiki kecuali Allah. Para nabi dan para wali tidak lain hanyalah sebab dikabulkanya permohonan hamba karena kemuliaan dan ketinggian derajat mereka. Ketika seorang nabi atau wali masih hidup, Allah yang mengabulkan permohonan hamba. Demikian pula setelah mereka meninggal, Allah juga yang mengabulkan permohonan seorang hamba yang ber-tawassul dengan mereka, bukan nabi atau wali sendiri.
Sebagaimana orang yang sakit pergi ke dokter dan meminum obat agar diberikan kesembuhan oleh Allah, meskipun keyakinanya pencipta kesembuhan adalah Allah, sebab obat hanyalah sebab kesembuhan. Jika obat adalah contoh sebab ‘adi (sebab alamiah), maka tawassul adalah sebab syar’i (sebab–sebab yang diperkenankan syara’).
Sementara pengertian Wasilah menurut Syaikh Ahmad al Shawiy dalam Tafsirnya :
“Wasilah adalah apa saja yang mendekatkan diri kepada Allah secara muthlaq, termasuk didalamnya cinta terhadap para Nabi dan kekasihnya, shadaqah, ziarah kepada kekasih Allah juga silaturrahim, memperbanyak do’a dan dzikir, dan lain- lain. Jadi arti ayat itu adalah; apa saja yang mendekatkan dirimu kepada Allah kerjakan, dan apa yang menjauhkan dirimu dari –Nya jauhilah. Bila anda sudah memahami itu semua jelas termasuk kesesatan yang nyata juga kesalahan yang terang mengkafirkan seorang Islam hanya karena berziarah terhadap kekasih (wali) Allah dengan tuduhan bahwa ziarah adalah menyembah selain Allah” .
Karena itu, para ulama seperti al- Imam al-Hafizh Taqiyyuddin al-Subki menegaskan bahwa tawassul, istisyfa’, istighatsah, isti’anah, tajawwuh dan tawajjuh memiliki makna dan hakikat sama, Mereka mendefinisikan tawassul – dan istilah – istilah lain yang sama – dengan definisi sebagai berikut :
طَلَبُ حُصُوْلِ مَنْفَعَةٍ أَوِ انْدِفَاعِ مَضَرَّةٍ بذِكْرِ اسْمِ نَبِيٍّ أَوْ وَلِيٍّ اِكْرَامًا لِلْمُتَوَسِّلِ بِهِ
“ Memohon datangnya manfaat ( kebaikan ) atau terhindarnya bahaya (keburukan) kepada Allah dengan menyebut nama seorang Nabi atau wali untuk memuliakan (ikram) keduanya” (Al Hafizh al-‘ Abdari, al- Syarh al- Qawim, hal.378)Ide dasar dari tawassul ini adalah sebagai berikut. Allah SWT telah menetapkan bahwa biasanya urusan–urusan di dunia ini terjadi berdasarkan hukum kausalitas; sebab akibat. Sebagai contoh, Allah Subhanallahu wata’ala sesungguhnya Maha Kuasa untuk memberikan pahala kepada manusia tanpa beramal sekalipun, namun kenyataanya tidak demikian. Allah memerintahkan manusia untuk beramal dan mencari hal- hal yang mendekatkan diri kepada-Nya, seperti tercantum dalam surat Al Maidah:35ayat berikut:
Ayat ini menunjukkan untuk mencari segala cara yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Artinya, carilah sebab – sebab tersebut, kerjakanlah sebab – sebab itu, maka Allah akan mewujudkan akibatnya. Allah SWT telah menjadikan tawassul dengan para nabi dan wali sebagai salah satu sebab dipenuhinya permohonan hamba. Padahal Allah Maha Kuasa untuk mewujudkan akibat tanpa sebab – sebab tersebut. Oleh karena itu, kita diperkenankan bertawassul dengan para nabi dan wali dengan harapan agar permohonan kita dikabulkan oleh Allah SWT.
Jadi, tawassul adalah sebab yang dilegitimasi oleh syara’ sebagai sarana dikabulkanya permohonan seorang hamba. Tawassul dengan para nabi dan wali diperbolehkan baik di saat mereka masih hidup atau mereka sudah meninggal.
Karena seorang mukmin yang ber-tawassul tetap berkeyakinan bahwa tidak ada yang menciptakan manfaat dan mendatangkan bahaya secara hakiki kecuali Allah. Para nabi dan para wali tidak lain hanyalah sebab dikabulkanya permohonan hamba karena kemuliaan dan ketinggian derajat mereka. Ketika seorang nabi atau wali masih hidup, Allah yang mengabulkan permohonan hamba. Demikian pula setelah mereka meninggal, Allah juga yang mengabulkan permohonan seorang hamba yang ber-tawassul dengan mereka, bukan nabi atau wali sendiri.
Sebagaimana orang yang sakit pergi ke dokter dan meminum obat agar diberikan kesembuhan oleh Allah, meskipun keyakinanya pencipta kesembuhan adalah Allah, sebab obat hanyalah sebab kesembuhan. Jika obat adalah contoh sebab ‘adi (sebab alamiah), maka tawassul adalah sebab syar’i (sebab–sebab yang diperkenankan syara’).
Sementara pengertian Wasilah menurut Syaikh Ahmad al Shawiy dalam Tafsirnya :
“Wasilah adalah apa saja yang mendekatkan diri kepada Allah secara muthlaq, termasuk didalamnya cinta terhadap para Nabi dan kekasihnya, shadaqah, ziarah kepada kekasih Allah juga silaturrahim, memperbanyak do’a dan dzikir, dan lain- lain. Jadi arti ayat itu adalah; apa saja yang mendekatkan dirimu kepada Allah kerjakan, dan apa yang menjauhkan dirimu dari –Nya jauhilah. Bila anda sudah memahami itu semua jelas termasuk kesesatan yang nyata juga kesalahan yang terang mengkafirkan seorang Islam hanya karena berziarah terhadap kekasih (wali) Allah dengan tuduhan bahwa ziarah adalah menyembah selain Allah” .
0 Komentar