I. THAREQAT
Torekat berasal dari kata ‘thariqah’ yang artinya ‘jalan’. Jalan yang dimaksud di sini adalah jalan untuk menjadi orang bertaqwa, menjadi orang yang diridlhoi Allah s.w.t. Secara praktisnya thareqat adalah kumpulan amalan-amalan lahir dan batin yang bertujuan untuk membawa seseorang untuk menjadi orang bertaqwa. Ada 2 macam thareqat yaitu thareqat wajib dan thareqat sunat.
• Thareqat wajib, yaitu amalan-amalan wajib, baik fardlu ain dan fardlu kifayahh yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim. thareqat wajib yang utama adalah mengamalkan rukun Islam. Amalan-amalan wajib ini insya Allah akan membuat pengamalnya menjadi orang bertaqwa yang dipelihara oleh Allaahh. Paket thareqat wajib ini sudah ditentukan oleh Allah s.w.t melalui Al Qur-an dan Al Hadits. Contoh amalan wajib yang utama adalah shalat, puasa, zakat, haji. Amalan wajib lain antara lain adalah menutup aurat , makan makanan halal dan lain sebagainya.
• Thareqat sunnat, yaitu kumpulan amalan-amalan sunnat dan mubah yang diarahkan sesuai dengan 5 (lima) syarat ibadah untuk membuat pengamalnya menjadi orang bertaqwa. Tentu saja orang yang hendak mengamalkan thareqat sunnah hendaklah sudah mengamalkan thareqat wajib. Jadi thareqat sunnahh ini adalah tambahan amalan-amalan di atas thareqat wajib. Paket thareqat sunat ini disusun oleh seorang guru mursyid untuk diamalkan oleh murid-murid dan pengikutnya. Isi dari paket thareqat sunnat ini tidak tetap, tergantung keada-an zaman thareqat tersebut dan juga keada-an sang murid atau pengikut. Hal-hal yang dapat menjadi isi thareqat sunnat ada ribuan jumlahnya, seperti shalat sunat, membaca Al Qur’an, puasa sunnat, wirid, dzikir dan lain sebagainya.
II. PENGERTIAN THARIQAH
Thareqat ialah Ilmu untuk mengetahui hal ihwalnya nafsu dan shifat-shifatnya.
Di dalam kitab Jami’ul Lishul fil Auliya’ karya Syaikh Ahmad Al Kamisykhonawi An-Naqsyabandi disebutkan : ‘Ath-Thari’qahh hhiya As sirahh al mukhtash shahh bish shalihin ilallahh min qath’il manazil wat taraqqi fil maqamat.”
(Thariqahh adalah laku tertentu bagi orang-orang yang menempuh jalan kepada Allah, berupa memutus/meninggalkan tempat-tempat hunian dan naik ke maqam-maqam/tempat-tempat mulia).
Thariqah itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu :
1. Thariqah Syari’ah dan
2. Thariqah Wushul.
1. Thariqahh Syari’ah sebagaimana diketahui dalam ilmu fiqih, adalah aturan-aturan fiqhh sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab para fuqaha yang mu’tabar (diakui) keimaman mereka, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, yang mereka semua adalah para Mujtahhid Mutlak. Dan juga para fuqahha, dari kalangan Mujtahid Madzhab, seperti An-Nawawi, Ar Ramli, Al ‘Asqalani, As Subki, Al Haitami, Ar-Rafi’i dan sebagainya. Dan juga dari kalangan muhadditsin dan mufassirrin, seperti Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Turmudzi, Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majahh, As-Suyuthi, Al Mahalli, Al Baidlawi, Ibnu Katsir dan sebagainya. Mereka adalah para ‘alim yang telah tersebar luas ilmu-ilmu mereka dan telah diakui keagungan kewalian serta keimaman mereka di Dunia Islam. Dan masing-masing mereka telah diakui kedalamannya dalam ilmu syari’at, akhlaq, tafsir, hadits dan lain sebagainya.
2. Thariqah Wushul adalah natijahh (hasil) dari Thariqah Syari’ah dan terbagi menjadi dua kelompok, yang keduanya senantiasa menempuh jalan untuk bisa wushul (sampai kepada Allah SWT).
• Yang pertama adalah bagi orang-orang yang berpegang pada sunnah Al Mushthafa Muhammad SAW, adab dan akhlaqnya, yang merupakan pintu pertama untuk masuk pada thariqahh wushul. Dan seharusnya bagi setiap orang yang berkeinginan untuk wushul, hendaknya mengetahui terlebih dahulu masalah ini, kemudian syarat-syarat memasuki thariqah apapun serta kaifiah atau tata caranya. Dan hendaknya ber’ittiba’ (mengikuti) guru dan syaikhnya yang disertai dengan khidmah (pengabdian), muwafaqah (menganggap benar) dan menghindarkan su’udh-dhan (buruk sangka) dengan keberada-an syaikhnya dalam segala keadaan dan ucapannya, walaupun secara lahir bertentangan dengan kebiasaan. Karena seorang syaikh dalam melakukan tarbiyahh (pengajaran) ini, terkadang bertindak seperti bengkel listrik yang bekerja mereparasi listrik, dimana sudah barang tentu kedua tangannya berlumur kotoran-kotoran (yang tidak najis). Tetapi hal tersebut terjadi karena upayanya menyambung kabel yang putus, agar lampu bisa menyala. Kalau kita hanya melihat yang tampak saja yang berupa kotoran-kotoran, tentu kita akan mengingkarinya. Akan tetapi kalau kita melihat hal tersebut sebagai upaya menyalakan lampu, tentu kita akan menganggapnya baik bahkan suatu keharusan. Inilah seperti pekerjaan guru mursyid ketika mengupayakan agar hati muridnya bersinar. Dan inilah sebagian dari khawariqulil ‘adah (hal-hal yang keluar dari kebiasaan) yang kadang-kadang muncul pada seorang guru atau syaikh. Maka dari itu bagi setiap orang yang akan merambah thariqah wushul, tidak boleh tidak harus berpegang pada laku etika dan tata krama. Bukankah Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan perilaku-perilaku yang mulia?”
• Adapun Thariqah Wushul yang kedua adalah bagi orang yang hendak meraih natijahh (hasil) dari thariqah wushul yang pertama, dia mesti memperindah dan meningkatkan dirinya dengan syari’at Allah dan sunnah RasulNya, terutama ketika suluknya. Dan natijahh (hasil) dari thariqah yang kedua ini adalah untuk membersihkan hati dan sanubari, sehingga yang tampak dalam perilaku dan ucapannya sesuatu yang tidak keluar (tidak datang-red) dari Syari’atul Gharra’ (Syari’ah yang cemerlang) untuk meraih Thariqatul Baidla’ (Thariqahh yang putih). Hal itu bisa terjadi bila keberada-an seseorang itu bersih dari kelalaian, hal-hal yang nista dan halhal yang merusakkan, yang semua itu adalah bahaya yang besar. Maka dengan itu kita tahu bahwa thariqahh disini adalah suatu praktek perbuatan untuk membersihkan hati dan mensucikan diri dari segala kotoran yang menempel dan berkarat, kelalaian dan salah pahamnya kebodohan. Aura hati itu tidak bisa suci (bersih) kecuali dengan dzikir kepada Allahh dengan cara tertentu. Oleh karena itu wajib bagi setiap mu’min -setelah mengetahui ‘aqidatul ‘awam 50 (lima) shifat wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah dan Para RasulNya) dan pekerja-an-pekerja-an harian yang disyari’atkan Allah SWT, berupa shalat yang meliputi syarat-syarat, rukun-rukun dan hal-hal yang membatalkannya, zakat, puasa dan haji, untuk meningkatkan diri dan memasuki thariqahh dzikir dengan cara khusus/tertentu. Dzikir merupakan upaya untuk membersihkan hati dari kotoran dan kelalaian. Pembersihan dari hal tersebut adalah wajib, maka memasuki thariqahh, wajib hukumnya. Sedang apabila dzikir itu sekedar untuk amalan saja artinya sekedar untuk menambah ibadah saja, maka hukumnya adalah mustahab (sunnah). Tetapi kalau benar masuk thariqah itu hukumnya mustahab, lalu dari mana hati itu akan mengetahui cara untuk mengagungkan keagungan Allah, kalau didalamnya terdapat banyak kelalaian. Sesuatu yang sulit tentunya. Karena tingkatan kadar keimanan seseorang itu tergantung pada kadar kebersihan hatinya :
• Tingkatan kebersihan hatinya tergantung pada kadar kejujuran-nya.
• Tingkatan kejujuran-nya tergantung pada kadar keikhlashan-nya.
• Dan tingkatan keikhlashan-nya tergantung pada kadar keridla-an-nya terhadap apa yang telah diberikan Allah kepadanya
III. SULUK DALAM THARIQAT
Asas pertama thariqahh adalah al iradah, yaitu kehendak atau kemauan bulat untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah dengan menapaki jalan-jalan (menujuNya) secara sungguh-sugguh sedemikan rupa sehingga yang bersangkutan benar-benar mengalami dan merasakan (kehadiran) Tuhan (Rukun Ihsan : Seolah-olah beribadah melihat Allah apabila tidak maka sadirilah bahwa Allah melihatnya). Perintah Tuhan mengenai hal ini sangat jelas ketika berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allaahh dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepadaNya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan/kemenangan. (Al Maidah : 35).
Sebenarnya tidak hanya manusia yang diperintahkan Tuhan untuk menapaki jalan-jalanNya lebah-pun bahkan menjadi objek yang di-khitab Tuhan dengan perintah yang sama melalui wahyu yang disampaikan kepadanya, Maka tempuhlah jalan-jalan TuhanMu yang telah dimudahkan untukmu.
Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang Telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan. (Al-Nahl : 69).
Dalam kasus lebah ini terdapat tanda ketuhanan yang layak direnungkan oleh murid (orang yang berkehendak bulat bertemu dengan Tuhan). Perjalanan menuju Tuhan tidak mungkin dapat dilakukan, dan jalan-jalan menuju Tuhan pun tidak akan pernah tersingkap, kecuali dengan mujahadah (perjuangan yang sungguh-sungguh) yang dimotori oleh iradah tersebut. Hal ini ditegaskan Tuhan dalam sebuah firmanNya:
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridla-an) kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan menuju kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik (ihsan). (Al-Ankabut : 69).
Dalam wacana shufi perjalanan dalam menempuh jalan-jalan menuju Tuhan disebut dengan suluk dan orang yang melakukan perjalanan disebut salik.
Di dalam suluk para salik menyibukan diri dengan riyadlahh (latihan kejiwa-an) dalam rangka pendekatan diri kepada Allah (al-taqarrub ilallah) melalui pengamalan ibadah-ibadah faraidl (wajib) dan nawafil (sunnah); semua aktivitas ini dilakukan diatas fondasi dzikrullah, di samping dzikrullah itu sendiri dijadikan sebagai amalan yang berdiri sendiri, lepas dari ibadah-ibadah lainnya, sebagai wujud mutlak pengamalan firman Allaahh dalam sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Muslim:
Aku sesuai dengan prasangka hambaKu kepadaKu, dan Aku bersamanya ketika ia berdzikir kepadaKu; jika ia berdzikir kepadaKu dalam dirinya,maka Aku berdzikir kepadanya dalam diriKu; jika ia berdzikir kepadaKu dalam suatu kelompok, maka Aku berdzikir kepadanya dalam kelompok yang lebih baik daripada mereka. Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya sehasta; jika ia mendekat kepada-Ku sehasta; maka Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia mendatangi-Ku dalam keadaan berjalan, maka Aku mendatanginya dalam keadaan berlari (Shahih al-Bukhari, VI: 2694; Shahih Muslim, IV: 2061).
Intinya semua sunnah Nabi sebagai model al Qur’an yang hidup, nyata, dan sempurna, yang dalam bahasa Aisyahh diungkapkan dengan redaksi akhlak Nabi adalah al-Quran (Musnad Ahmad, VI: 91; Al-Mu'jam al-Awsath, I: 30), diwujudkan secara gamblang dan sungguh-sungguh dalam suluk. Berkekalan dalam wudlu, berdzikir dalam setiap keada-an (berdiri, duduk dan berbaring), berjama-ah dalam semua shalat wajib, menjaga moderasi antara lapar dan kenyang, menghiasi waktu malam dengan berbagai ibadah dan salat sunnahh, mengosongkan kalbu dari selain Allah, mengarahkan segenap konsentrasi dan perhatian sebagian contoh sunnahh Nabi yang dipraktekkan dalam suluk.
Suluk sekaligus, merupakan jalan menuntut ilmu dan marifat yang dengannya Allah melempangkan jalan menuju sorga yang notabene jalan menuju Allah sendiri karena sorga tidak ada kecuali di sisi Allah. Sebuah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Muslim, dan imam-imam hadis lainnya, mendukung kenyata-an ini :
Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, niscaya Allah memudahkan baginya jalan menuju sorga (Shahih al-Bukhari, I: 37; Shahih Muslim, IV: 2074; Musnad Ahmad, II: 325).
Suluk dalam Pandangan Ibn Taimiyah
Ibn Taimiyahh yang selama ini dituding sebagai anti thariqahh ternyata justru sangat mendukung suluk sebagai unsur fundamental dalam thariqahh. Dalam kaitan ini beliau menegaskan dalam Majmu' al Fatawanya:
Suluk adalah menempuh jalan yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya berupa realisasi akidah, ibadah, akhlak.
Semua ini sangat jelas dalam ibadah al Qur’an dan al-Sunnah, karena suluk menempati posisi makanan yang merupakan keharusan bagi orang mukmin. Oleh karena itu, semua shahabat mengenal suluk dengan petunjuk al Qu’ran dan al-Sunnah dan sekaligus dari penyampaian Rasul sendiri; mereka dalam hal itu tidak membutuhkan ahhli-ahhli fikihh dari kalangan shahabat, dan mereka pun dalam hal itu tidak pernah saling bertentangan satu sama lain, sebagaimana mereka saling bertentangan dalam kasus-kasus fikihh yang pengetahuan tentang kasus-kasus ini tertutup bagi kebanyakan shahabat, sehingga mereka berbicara dalam fatwa-fatwa yang diminta oleh suatu kelompok dalam kasus-kasus itu.
Adapun (suluk) yang dilakukan oleh orang yang hendak mendekatkan diri kepada Allah dengan mengintensifkan ibadah yang diwajibkan dan ibadah yang disunnahkan, maka masing-masing dari mereka berpedoman kepada al-Qur-an dan al-Sunnah, karena al Qu’ran dan al Hadits sarat dengan hal ini. Dan jika salah seorang dari mereka dalam hal itu berbicara dengan perkataan yang tidak ia sandarkan kepada dirinya sendiri, maka perkataan itu atau maknanya disandarkan kepada Allah dan RasulNya; kadang-kadang di antara mereka ada yang mengucapkan kata-kata hikmah, dan hal itu ternyata berasal dari Nabi saw sendiri; ini sama dengan kata-kata hikmah, yang dikatakan orang dalam menafsirkan firman Allah nurun 'ala nurin 'cahaya di atas cahaya' (Majmu' al-Fatawa, XIX: 273).
Jadi, dalam pandangan Ibn Taimiyah, sebuah pandangan yang sangat ideal, suluk merupakan masalah akidah sehingga tidak dapat didekati dengan pendekatan fiqih.
Hal-hal yang berkena-an dengan suluk semuanya didasarkan pada al Qur’an dan as Sunnahh. Khalwat Nabi saw di Gua Hira’ khususnya, menjadi rujukan utama bagi para salik
Melalui suluk yang memenuhi syarat dan rukunnya seseorang dengan izin Tuhannya akan mencapai tauhid yang murni atau mengalami Tuhan secara haqqul-yaqin keyakinan yang hak yang tidak bercampur dengan keraguan sedikit pun, sehingga tidak lagi memerlukan argumentasi-argumentasi logis mengenai keberada-an dan keesa-an-Nya, ia sudah mendapatkan pancaran cahaya langsung dari Tuhan sehingga ia pun berjalan di muka bumi bagaikan pelita yang menerangi sekelilingnya. Pelita mereka berasal dari nurun ‘ala nurin “cahaya di atas cahaya”, yang oleh Ibn al Qayyin sambil mengutip firman Tuhan dalam ayat ke 35 dari surah an Nur) :
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpama-an cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus)*, yang di dalamnya ada Pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya))*, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allaahh membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
)* yang dimaksud lubang yang tidak tembus (misykat) ialah suatu lobang di dinding rumah yang tidak tembus sampai kesebelahnya, Biasanya digunakan untuk tempat lampu, atau barang-barang lain.
)* Maksudnya : pohon zaitun itu tumbuh di puncak bukit ia dapat sinar matahari baik di waktu matahari terbit maupun di waktu matahari akan terbenam, sehingga pohonnya subur dan buahnya menghasilkan minyak yang baik.
digambarkan dengan ungkapan :
Lampu-lampu seseorang yang “mengalami”Tuhan secara tahkik (muwahhid) dan yang berjalan (salik) di atas jalan dan thariqah Rasul menyala dan bersinar dari pohon yang diberkati, pohon zaitun yang tidak tumbuh di Timur dan tidak pula di Barat; yang minyaknya sudah hampir bisa menerangi tidak disentuh api; nurun ‘ala nurin (cahaya di atas cahaya), Allaahh membimbing kepada cahaya-Nya orang-orang yang dikehendakiNya, dan Allaahh membuat perumpama-an-perumpama-an bagi manusia.
Suluk, Realisasi Khalwat, ‘Uzlahh dan I’tikaf
Dalam thareqat shufi suluk dipahami dan diwujudkan dalam bentuk khalwat dan ‘uzlahh, yaitu mengasingkan diri selama jangka waktu tertentu.
Teladan yang diambil oleh para salik dalam hal ini seperti ditegaskan Buya Hamka adalah kegemaran Nabi melakukan khalwat dan tahannuts di Gua Hira’. Imam al-Bukhari dan Muslim serta beberapa imam hadits lainnya meriwayatkan sebuah hadits bahwa umm al-mu’min Aisyahh berkata :
Nabi digemarkan oleh Allaahh untuk melakukan khalwat, beliau selalu berkhalwat di Gua Hira’ dan melakukan tahannuts di sana, yaitu beribadah selama beberapa malam tertentu.
Para shufi melakukan suluk di masjid-masjid atau surau-surau yang oleh al Qu’ran disebut sebagai rumah-rumah yang di-izinkan Allah untuk dimuli akan dan dijadikan tempat berdzikir menyebut asma-Nya.
Bertasbih)* kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, (Qur-an surat Al-Nur ayat:36).
)*yang bertasbih ialah laki-laki yang tersebut pada ayat 37 berikut ini :
Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.
Rumah-rumah semacam inilah yang oleh para salik dijadikan tempat khalwat dan 'uzlah, mereka menetap disitu selama beberapa hari untuk melakukan ibadah dan dzikir secara intensif. Dengan demikian, tidak mengherankan apabila suluk mereka disebut juga dengan I’tikaf yang dari segi bahasa bermakna berdiam di sebuah tempat selama jangka waktu tertentu.
Dalam kasus ini para salik merujuk kepada I’tikaf Nabi SAW selama sepuluh hari dalam bulan Ramadhan. Dalam Shahih al-Bukhari disebutkan bahwa ‘Aisyahh ra. Berkata :
Nabi SAW selalu I’tikaf selama sepuluh hari terakhir dari bulan bulan Ramadlan sampai Allah mewafatkan beliau (Shahih al Bukhari, II: 213; Shahih Muslim, II: 831).
Namun begitu, sebagaimana diceritakan oleh Abu Dzar al-Ghiffari, tidak jarang pula Nabi melakukan I’tikaf sepuluh hari pertama dan kadang-kadang sepuluh hari ke dua atau pertengahan dari bulan Ramadlan (Shahih al-Bukhari, II: 713; Shahih Muslim, II: 825).
Dan satu yang barangkali penting digaris bawahi di sini adalah bahwa I’tikaf pada dasarnya merupakan ibadah tersendiri, artinya tidak harus terkait dengan keharusan berpuasa dan tidak harus pula terkait dengan bulan Ramadlan. Imam al-Hakim dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Ibn. Abbas bahwa Nabi SAW bersabda:
Tidak ada keharusan berpuasa atas orang yang beri’tikaf kecuali ia menetapkan puasa itu untuk dirinya sendiri (Al-Mustadrak, I: 605; Sunan al-Baihaqi al-Kubra, IV: 318; Sunan Daruquthi, II: 199).
Imam al-Baihaqi dan beberapa Imam hadits lainnya meriwayatkan dari Aisyahh ra. bahwa ia berkata :
Nabi SAW pernah melakukan I’tikaf selama sepuluh hari pertama bulan syawal (Sunan al-Baihaqi al-Kubra, IV: 318;Al Imam Abi Dawud, II: 331; al- Imam al-Kubra, II: 260).
Ibn al Qayyim mengutip pendapat ulama yang mendukung keabsahan I’tikaf sebagai ibadahh yang mandiri ketika ia mengatakan :
I’tikaf merupakan ibadah yang berdiri sendiri, sehingga puasa tidak menjadi syarat dalam I’tikaf sebagaimana halnya ibadah-ibadah lainnya seperti haji, shalat, jihad dan ribath (merabit); I’tikaf adalah menetap di suatu tempat tertentu untuk melakukan keta-atan kepada Allah Ta’ala, sehingga puasa tidak menjadi syarat dalam I’tikaf sebagaimana halnya ribath (merabit); dan I’tikaf merupakan qurbah (pendekatan diri kepada Allah) itu sendiri sehingga puasa tidak menjadi syarat dalam I’tikaf sebagaimana halnya haji (Hasyiyahh Ibn al-Qayyim, VII: 106).
Satu hal yang pasti adalah bahwa suluk yang dilakukan dengan ikhlash semata-mata mencari ridla Allah SWT akan melahirkan manusia baru yang dari dalam hatinya memancar mata air dan sumber-sumber hikmah yang kemudian mengalir pada lisannya sebagaimana ditegaskan oleh Nabi SAW dalam sebuah sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Ibn Abi Syaibahh:
Tidaklah seorang hamba mengikhlashkan dirinya selama empat puluh pagi (hari) kecuali dari kalbunya memancar sumber-sumber hikmah yang mengalir pada lisannya (Mushannaf Ibn Abi Syaibahh, VII: 80; Musnad al-Syihab, I: 285).
Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa suluk dapat membidangi kelahiran manusia baru yang utuh sehingga layak dijadikan sarana pembangunan manusia seutuhnya, pembangunan yang selama ini lebih banyak menjadi slogan daripada kenyataan.
IV. THAREQAT JASADIYAH WAL BATHINIYAH
Jasadiyah wal Bathiniyah adalah sebutan bagi sebuah Thareqat yang saya cetuskan secara pribadi, dari hasil pemikiran yang saya temukan bahwa Thareqat jasadiyah wal bathiniyahh adalah buah dari Thareqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang dilaksanakan oleh saya Al Faqir As Saeffuuddin, karena saya berkeyakinan bahwa siapa saja yang menganut Thareqat Qadiriyahh wa Naqsyabandiyahh, maka akan masuk surga bersama guru-guru thareqat kita, bersama dengan tuan syeikh Abdul Qadir, bersama Rasulullaah SAW. Aamiin
Pertanyaan : kenapa menyebutnya Jasadiyahh wal bathiniyah?
Jawab : Karena sudah yakin dengan balasannya adalah surga bagi pengamal Qadiriyahh wa Naqsabandiyahh, berarti jelas sudah bisa menbentengi diri baik jasad atau bathin-nya dari segala hal yang membahayakan (api neraka-red).
Thareqat adalah jalan yang harus ditempuh oleh seorang Muslim agar berada sedekat mungkin dengan Allah di bawah bimbingan seorang guru. Tharekat mencoba memberi rasa aman dan kesejahteraan di kehidupan akhirat kepada para pengikutnya, setelah mereka merasa bahwa kehidupan mereka di dunia sudah mendekati akhir. Di samping itu tharekat berusaha membuka pintu Surga bagi kaum muslimin dan muslimat. Thareqat adalah jalan untuk memastikan kesama-an peluang untuk masuk Surga bagi semua umat manusia yang seiman dan seagama, baik yang alim, awam, kaya, miskin, rakyat, pejabat, pengusaha, ataupun, pegawai.
Ruh sebelum masuk ke tubuh memang suci, tetapi setelah bersatu dengan tubuh sering kali menjadi kotor karena digoda hawa nafsu. Maka agar dapat mendekatkan diri pada Allah yang Maha Suci, ruh manusia harus terlebih dahulu disucikan. Shufi-shufi besar kemudian merintis jalan sebagai media untuk penyucian jiwa yang dikenal dengan nama thariqat (jalan).
Para ahli hikmah/mistik dalam berbagai tradisi keagamaan cenderung menggambarkan langkah-langkah yang membawa kepada kehadirat Allah sebagai jalan.
Pembagian 3 (tiga) jalan dalam agama Islam menjadi Syariat,Thareqat dan Haqiqat. Jalan tri tunggal kepada Allah dijelaskan dalam suatu hadits Rasulullaahh SAW. Sebagai berikut :
1. Syariat adalah perkataanku (aqwali),
2. Thareqat adalah perbuatanku (Af’ali),
3. Haqiqat adalah keada-an bathinku (Ahwali).
Thareqat adalah jalan yang harus ditempuh para shufi, dan digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syari’at, sebab jalan utama disebut Syar sedang anak jalanan disebut thariq. Kata turunan ini menunjukkan bahwa menurut anggapan para shufi, pendidikan hikmah/mistik merupakan cabang dari jalan utama yang terdiri atas hukum Ilahi, tempat berpijak bagi setiap Muslim. Tak mungkin ada jalan tanpa adanya jalan utama tempat ia berpangkal.
Pengalaman hikmahh/mistik tak mungkin didapat bila perintah Syariat yang mengikat itu tidak dita’ati terlebih dahulu dengan seksama. Akan tetapi thariq atau jalan itu lebih sempit dan lebih sulit dijalani serta membawa salik (orang yang menempuh jalan shufi) sampai secepat mungkin mencapai tujuan yaitu tauhid sempurna berupa pengakuan berdasarkan pengalaman bahwa Tuhan adalah satu.
V. THAREQAT JASADIYAH WALBATHINIYAH MERUPAKAN WUJUD NYATA, SEBAGAIBUAH HASIL DARI PENGAMALAN THAREQAT QADIRIYAH WANAQSYABANDIYAH
Di antara berbagai macam thareqat yang ada terdapat thareqat yang bernama Thareqat Qadiriyahh wa Naqsyabandiyahh. Thareqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyahh merupakan penggabungan dari dua Thareqat besar yaitu Thareqat Qadiriyah dan Thareqat Naqsyabandiyah. Penggabungan kedua thareqat ini dimodifikasi sedemikan rupa, sehingga terbentuk sebuah thareqat yang mandiri dan berbeda dengan kedua tareqat induknya. Jadi thareqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang ada di Indonesia merupakan thareqat yang mandiri yang didalamnya terdapat unsur-unsur Qadiriyahh dan Naqsyabandiyah.
Nah saya sebagai pengikut/penganut ajaran Thareqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah berpendapat dengan seyakin-yakinnya bahwa kelak semua yang mengamalkan thareqat qadiriyah wa Naqsyabandiyah akan masuk surga, namun pendapat saya bahwa kita disurga nanti harus memiliki singgasana/istana/ rumah untuk tempat kita tinggal, maka saya menambah pekerjaan sehari-hari yang harus dilaksanan dengan rutin dan hati yang tulus dan khusyu yaitu menjalankan shalat rawatib,karena sabda Nabi barang siapa yang menjalankan shalat rawatib niscaya Allah akan membuatkan rumahnya disurga.
Saya berkeyakinan bahwa orang yang berthareqat qadiiriyah wa naqsyabandiyah sama dengan orang yang membentengi jasad dan bathinya artinya menjaga dirinya baik lahir atau bathin-nya dari segala yang akan menghancurkannya/merusaknya baik didunia ataupun di akhirat dan tak ada salahnya bagi saya atau pengikut saya menamakan nya bahwa thareqat Qadiriyahh wa Naqsayabandiyah sebagai Thareqat yang akan bisa membentengi dirinya baik lahir ataupun bathinnya, secara gamblangnya sebagai benteng/pelindung jasad dan bathinnya (jasadiyahh wal Bathiniyah).
Syeikh Ahmad Khathib Syambas mengukuhkan Thareqat yang di jalaninya dengan nama Thareqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah padahal bisa saja beliau memberinya nama thareqat Syambasiyah, namun dengan kerendahan hati, beliau untuk menghormati Mursyidnya mengukuhkannya kedua threqah tersebut menjadi sebuah thareqat yang besar hingga sekarang, pantas acungan jempol bagi beliau karena dengan thareqatnya bisa membuat kita sebagai penganutnya dapat terbingbing hingga mendapatkan ketentraman hati khususnya bagi saya yang dulu tidak mengerti arti dan tujuan hidup berkat bimbingan thareqatnya saya bisa menemukan kenikmatan dalam beribadah dan saya merasa yakin bahwa thareqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah akan dapat melindungi jasad dan bathin kita dari api neraka. Seiring dengan kegiatan-kegiatan ritual yang sudah ada dari guru thareqat saya jalankan, juga saya menambahkan pekerja-an yang diharuskan oleh diri saya sendiri berdasarkan hadits-hadits yang shaheh, dan pada kedua waktu dimana dalam hadits dilarang menjalankan shalat rawatib saya mengisinya dengan baca-an do’a-do’a yang diwajibkan dibaca setelah shalat sunat rawatib yaitu do’a khusus yang saya menyusun-nya sebagi perisai pelindung diri (jasad dan bathin) yang saya memberinya nama khusus pada tiga rangkaian do’a itu :
• HIZBUL JASAD WAL BATHIN
• HIZBUN-NAFSY
• HIZBUL AT-TAQQAA
Ketiga hizib ini akan dijelaskan pada bab berikutnya.
Berdasarkan dalil-dalil yang shahih Saya menjamin siapa saja yang menjalankan thareqat jasadiyahh walbathiniyahh akan bersama Rasul disurga dan memiliki istana Surga yang sangat mewah.Namun pendapat saya al faqir wadlaif tak cukup untuk mendapat surga saja, saya tertarik dengan pahala shalat sunnahh rawatib ingin sekali rumah/ istana itu, maka saya menjalankan-nya shalat rawatib itu, dan pada waktu yang dilarang shalat sunnahh rawatib, saya mengisinya dengan do’a-do’a mohon perlindungan baik untuk didunia maupun diakhirat agar bisa selamat dari bala-i dunia dan bala-i akhirat (narr).
V. DALIL DASAR SHALAT RAWATIB
1.Beberapa hadits dan pendapat ulama berikut menjadi dasar atas shalat sunnahh rawatib :
• Hadits riwayat Muslim
من صلى لله في يوم ثنتي عشرة ركعة بني له بيت في الجنة
Artinya: Barangsiapa yang shalat sebanyak 12 raka’at maka akan dibangun baginya rumah di surga.
• Hadits riwayat Ahmad hadits no. 26232; riwayat Abu Daud no. 1269; Tirmidzi no. 428; Nasai no.1816 menerangkan 4 rakaat rawatib sebelum dhuhur
من حافظ على أربع قبل الظهر وأربع بعدها حرمه الله على النار
Artinya: Barangsiapa yang menjaga shalat (rawatib) 4 rakaat sebelum dzuhur dan empat rakaat setelahnya maka Allah mengharamkan neraka baginya.
• Pendapat sebagian ulama Madzhab Syafi'i adalah sunnah rawatib sebelum dzuhur berjumlah 4 raka’at. Seperti dikatakan Imam Nawawi dalam kitab Al Majmuk
والسنة فيها وفي الأربع قبل الظهر وبعدها أن يسلم من كل ركعتين لما روياه من حديث علي رضي الله عنه۰ أنه كان يفصل بين كل ركعتين بالتسليم ۰
Artinya: Sunnahhnya dalam shalat empat rakaat sebelum dhuhur dan setelahnya adalah satu kali salam setiap dua raka’at.
Pendapat ini berdasarkan pada hadits riwayat Ahmad dll.
• Pendapat Madzhab Hanbali (madzhabnya pengikut Wahhabi Salafi) shalat sunnah rawatib sebelum dhuhur berjumlah 2 raka’at seperti disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni I/434
، فأما المعينة فتتنوع أنواعا ; منها السنن الرواتب مع الفرائض ، وهي عشر ركعات : ركعتان قبل الظهر ، وركعتان بعدها
Artinya: ... Salah satu shalat sunnahh mu’ayyanahh adalah sunnahh rawatib yang jumlahnya ada 10 raka’at: 2 raka’at sebelum dzuhur, 2 raka’at setelahnya...
Pendapat ini berdasarkan pada hadits Bukhari Muslim dari Ibnu Umar.
2. Keutama-an fadilahh melaksanakan shalat rawatib :
Dalil dan keutamaan shalat sunnah rawatib adalah :
• Hadits riwayat Bukhari
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: ما من عبد مسلم يصلي لله كل يوم ثنتي عشرة ركعة تطوعا غير فريضة إلا بنى الله له بيتا في الجنة
Nabi bersabda : Tidak ada seorang hamba yang shalat sunnah setiap hari sebanyak 12 raka’at kecuali Allaahh membangun untuknya sebuah rumah di surga.
• Hadits sahih riwayat Muslim
مَنْ صَلَّى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِي يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، بُنِيَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِي الجَنَّةِ
Artinya: Barang siapa yang shalat 12 roka’at sehari semalam maka dibangun baginya rumah di surga.
• Hadits sahih riwayat Bukhari Muslim (muttafaq alaih) dari Ibnu Umar.
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الجُمُعَةِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ المَغْرِبِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ العِشَاءِ
Artinya: Saya pernah shalat bersama Rasul dua raka’at sebelum dhuhur, 2 raka’at setelah dzuhur, 2 raka’at setelah Jum’at, 2 raka’at setelah maghrib, dua raka’at setelah isya'.
3. Waktu pelaksanaan shalat rawatib.
Ada 5 (lima) waktu shalat sunnah rawatib dengan total 12 raka’at 6 raka’at ba'diyyahh dan 6 raka’at qabliyah dengan rincian sebagai berikut:
1. Dua raka’at sebelum shalat subuh.
2. Empat raka’at sebelum shalat dhuhur (dilakukan dua raka’at dua raka’at atau 2 x salam).
3. Dua raka’at setelah shalat dhuhur.
4. Dua raka’at setelah shalat maghrib.
5. Dua raka’at setelah shalat isya'.
V. ASAL USUL GERAKAN THAREQAT QADIRIYAH WA NAQSYABANDIYAH
Jika ditela’ah secara sosiologis yang lebih mendalam, lahirnya tareqat lebih dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultur yang ada pada saat itu. Lahirnya trend pola hidup shufistik tidak lepas dari perubahan dan dinamika dalam kehidupan masyarakat. Sebagai contoh adalah munculnya gerakan kehidupan zuhud dan uzlah yang dipelopori oleh Hasan al Basri (110 H) dan Ibrahim Ibn Adham (159 H). Gerakan ini muncul sebagai reaksi terhadap pola hidup hedonistik (berfoya-foya) yang dipraktekkan oleh pejabat Bani Umayyahh.
Hasan al-Basri termasuk pendiri madzhab Basrah yang beraliran zuhud. Pendirian hidup dan pengalaman tashawwuf Hasan al Basri itu dijadikan pedoman bagi ahhli tashawwuf. Pandangan tashawwuf Hasan al Basri di antaranya pandangan dia terhadap dunia yang diibaratkan sebagai ular yang halus dalam pegangan tangan tetapi racunnya membawa maut.
Setidaknya ada 2 (dua) faktor yang menyebabkan lahirnya gerakan thareqat pada masa itu, yaitu faktor kultural dan struktural. Dari segi politik, dunia Islam sedang dilanda krisis hebat. Di bagian timur dunia Islam seperti : wilayah Palestina, Syiria, dan Mesir menghadapi serangan orang-orang Kristen Eropa, yang dikenal dengan Perang Salib selama lebih kurang dua abad (490-656 H / 1096-1248 M) telah terjadi delapan kali peperangan yang dahsyat.
Di bagian timur, dunia Islam menghadapi serangan Mongol yang haus darah dan kekuasaan. Ia melalap setiap wilayah jarahnya. Demikian juga di Baghdad yang merupakan pusat kekuasa-an dan peradaban Islam. Situasi politik tidak menentu, karena selalu terjadi perebutan kekuasa-an di antara dinasti-dinasti Turki. Keada-an ini menjadi sempurna keburukannya dengan penghancuran kota Baghdad oleh Hulaqu Khan, juga pada tahun 2004 amerika serikat dibawah kepemimpinan josbush membumi hanguskan bagdag dan Sadam Husen ditangkap,juga baru-baru ini israaill membombardir jalur Gaja Palestina.
Dalam situasi seperti itu, wajarlah kalau umat Islam berusaha mempertahankan agamanya dengan berpegang pada doktrin yang dapat menentramkan jiwanya dan menjalin hubungan damai dengan sesama muslim dalam kehidupan dunia.
Umat Islam memiliki warisan kultural dari para Ulama sebelumnya yang dapat digunakan terutama di bidang tashawwuf, yang merupakan aspek kultural yang ikut membidangi lahirnya thareqat-thareqat pada masa itu. Misalnya Abu Hamid al- Ghazali (wafat 505 H / 1111 M) dengan karyanya yang monumental : Ihya Ulum al Din (menghidupkan ilmu-ilmu agama) telah memberikan pedoman tashawwuf secara praktis yang kemudian di-ikuti oleh tokoh-tokoh shufi berikutnya seperti Syekh Abd al- Qadir al- Jailani yang merupakan pendiri Thareqat Qadiriyahh.
Mula-mula tareqat hanya berarti jalan menuju Tuhan yang ditempuh seorang shufi secara individual. Akan tetapi, kemudian shufi-shufi besar mengajarkan tareqat-nya kepada murid baik secara individual maupun secara berkelompok. Dengan demikian tareqat pun berarti jalan menuju Tuhan di bawah bimbingan guru. Selanjutnya mereka melakukan latihan bersama di bawah bimbingan guru. Inilah asal pengertian tareqat sebagai nama sebuah organisasi shufi.
Pada dasarnya munculnya banyak tareqat dalam Islam secara garis besarnya sama dengan latar belakang munculnya banyak madhab dalam fiqih dan firqah dalam kalam. Di dalam fiqihh berkembang madhab-madhab seperti : madhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, dhahiri, dan Syi’i.
Di dalam kalam juga berkembang firqah-firqah, seperti: Khawarij, Murji’ahh, Mu’tazilahh, asy’ariyahh, dan Maturidiyahh. Sementara mazhab dalam tashawwuf disebut tareqat. Bahkan thareqat dalam tashawwuf jumlahnya jauh lebih banyak dari pada mazhab dalam fiqihh maupun firqahh dalam kalam.
Di Indonesia terkenal sebuah Thareqat bernama Qadiriyahh wa Naqsyabandiyahh. Thareqat ini merupakan thareqat terbesar, terutama di pulau Jawa. Thareqat Qadiriyahh wa Naqsyabandiyah yang ada di Indonesia didirikan oleh sufi dan Syekh besar masjid al-Haram Mekah al Mukaramah. Ia bernama Ahmad Khatib Sambas ibn Abd Ghaffar al Sambasi al-Jawi. Ia wafat di Mekah pada tahun 1878 M. Beliau adalah seorang ulama besar dari Indonesia yang tinggal sampai akhir hayatnya di Mekah. Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, merupakan gabungan dari dua tarekat yang berbeda yaitu Tarekat Qadiriyahh dan Tarekat Naqsyabandiyah.
1. Thareqat Qadiriyah
THareqat Qadiriyah didirikan oleh Syekh Abdul al Qadir al Jailani (W. 561/1166 M). Syekh Abdul al Qadir al Jailani selalu menyeru kepada murid-muridnya agar bekerja keras dalam kehidupan sebagai bekal untuk memperkuat ibadah yang dihasilkan dari hasil keringat sendiri. Ia juga melarang kepada muridnya menggantungkan hidup kepada masyarakat. Al Jailani juga mengingatkan kepada pengikut tarekat agar tetap perpegang pada Sunah Rasulullah dan Syari’at agama Islam. Dia juga mengingatkan bahwa setan banyak menyesatkan ahli tareqat dengan menggodanya agar meninggalkan syari’at karena sudah melaksanakan thareqatnya.
Thareqat Qadiriyah terus meluas jaringannya hampir ke seluruh negeri Islam termasuk Indonesia. Bahkan manaqib (sejarah kelahiran dan sejarah keistimewa-anya), kini senantiasa mewarnai prosesi ritual Islamiyah di daerah jawa setidak-tidaknya nama pendiri tareqat ini selalu disebut dalam prosesi ritual. Ini menunjukan betapa lestarinya ajaran yang dikembangkan oleh sebuah institusi thareqat.
2. Thareqat Naqsyabandiyah
Thareqat Naqsyabandiyah didirikan oleh Muhammad ibn Muhammad Bahauddin al Naqsyabandi yang hidup antara tahun 717-791 H/1317-1389 M. Ia dilahirkan di desa yang bernama Qashrul Arifin yang terletak beberapa kilometer dari kota Bukhara, Rusia.
Kedua Thareqat tersebut kemudian dimodifikasi oleh Syekh Khatib Sambas. Sebagai seorang yang alim dan ma’rifat kepada Allah, Syekh Khatib Sambas memiliki otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri bagi thareqat yang dipimpinnya karena dalam Thareqat Qadiriyah memang ada kebebasan untuk memodifikasi bagi yang telah mencapai derajat mursyid. Dalam Thareqat Qadiriyah apabila seorang murid telah mencapai derajat syekh seperti gurunya, ia tidak diharuskan untuk selalu mengikuti thareqat gurunya. Seorang syekh Thareqat Qadiriyah berhak untuk tetap mengikuti thareqat guru sebelumnya atau memodifikasi thareqat yang lain ke dalam thareqatnya. Hal ini karena ada petuah dari Syekh Abdul Qadir al Jailani bahwa murid yang telah mencapai derajat gurunya, maka ia jadi mandiri sebagai syekh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya.
Syekh Khatib Sambas sangat berjasa dalam menyebarkan thareqat ini di Indonesia dan Melayu hingga wafat. Di Mekah ia juga menjadi guru sebagian ulama Indonesia modern dan mendapatkan ijazah. Sekembalinya ke Indonesia ia menjadi guru thareqat dan mengajarkannya sehingga thareqat ini tersebar luas di seluruh Indonesia, diantaranya Syekh Nawawi al Bantani (wafat 1887 M), Syekh Halil (w. 1918 M), Syekh Mahfuzd Attarmasi (w. 1923 M) dan Syekh M. Hasyim Asy’ari pendiri NU di Indonesia. Semuanya merupakan murid Syekh Khatib Sambas. Ketokohan Syekh Khatib Sambas yang menonjol adalah di bidang tassawuf. Beliau sebagai pemimpin atau mursyid tarekat Qadiriyahh yang berpusat di Mekah pada waktu itu. Di samping itu beliau juga sebagai mursyid thareqat Naqsyabandiyah.
Pada masanya telah ada pusat penyebaran Thareqat Naqsyabandiyah di kota suci Mekah dan Madinah sehingga sangat memungkinkan ia mendapat baiat thareqat Naqsyabandiyah dari kemursyidan tersebut. Kemudian ia menggabungkan inti kedua ajaran thareqat tersebut, yaitu Thareqat Qadiriyah dan Thareqat Naqsyabandiyah dan mengajarkan pada murid-muridnya terutama yang berasal dari Indonesia.
Penamaan Thareqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah tidak lepas dari sikap tawadlu dan ‘tazim Syekh Khatib Sambas kepada pendiri kedua tareqat tersebut sehingga beliau tidak menisbatkan nama tareqatnya pada dirinya sendiri. Padahal kalau melihat modifikasi ajarannya dan tata cara ritual tareqatnya itu, lebih tepat kalau dinamakan dengan Tareqat Khatibiyah atau Tareqat Sambasiyah, karena memang tareqatnya merupakan buah dari ijtihadnya.
Thareqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang terdapat di Indonesia bukanlah hanya merupakan suatu penggabungan dari dua thareqat yang berbeda yang diamalkan bersama-sama. Thareqat ini menjadi sebuah thareqat yang baru dan berdiri-sendiri, yang di dalamnya unsur-unsur pilihan dari Qadiriyah dan Naqsyabandiyah telah dipadukan menjadi sesuatu yang baru. Penggabungan inti dari kedua ajaran ini atas dasar pertimbangan logis dan strategis bahwa kedua ajaran inti itu bersikap saling melengkapi terutama dalam hal jenis dzikir dan metodenya.
Tareqat Qadiriyah menekankan ajarannya pada dzikir jahr nafi isbat yaitu melafadhkan kalimat Laa ilaha illallah dengan suara keras, sedangkan Thareqat Naqsyabandiyah menekankan pada dzikir siri ismu dzat yaitu melafadhkan kalimat Allah dalam hati.
Penyebaran Thareqat Qadiriyahh wa Naqsyabandiyah diperkirakan sejak paruh kedua abad ke-19, yaitu semenjak tibanya kembali murid-murid Syekh Khatib Sambas ke tanah air. Di Kalimantan Barat, daerah asal Syekh Khatib Sambas, thareqat ini disebarkan oleh kedua orang muridnya yaitu Syekh Nuruddin yang berasal dari Pilipina dan Syekh Muhammad Sa’ad putra asli Sambas. Karena penyebaran tidak melalui lembaga formal seperti pesantren maka thareqat hanya tersebar dikalangan orang awam dan tidak mendapatkan perkembangan yang berarti.
Lain halnya di pulau Jawa thareqat ini disebarkan melalui pondok pesantren yang didirikan dan dipimpin oleh para pengikutnya sehingga mengalami kemajuan yang pesat. Penyebaran thareqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Jawa dilakukan oleh 3 (tiga) murid Syekh Khatib Sambas, yaitu Syekh Abdul Karim Banten, Syekh Tholhah Cirebon, dan Kyai Ahmad Hasbullah Madura. Syekh Abdul Karim Banten merupakan murid kesayangan Syekh Ahmad Khatib Sambas di Mekah. Semula dia hanya sebagai khalifah Thareqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Banten, tahun 1876 diangkat oleh Syeikh Khatib Sambas menjadi penggantinya dalam kedudukan sebagai mursyid utama thareqat ini yang berkedudukan di Mekah. Dengan demikian semenjak itu seluruh organisasi di Indonesia menelusuri jalur spiritualnya.
VI. POKOK-POKOK AJARAN THAREQAT QADIRIYAH WA NAQSABANDIYAH
Sebagai suatu madzhab dalam tashawwuf, Thareqat Qadiriyahh wa Naqsyabandiyahh memiliki beberapa ajaran yang diyakini akan kebenarannya, terutama dalam kehidupan keshufian. Ada beberapa ajaran yang diyakini paling efektif dan efesian sebagai metode untuk mendekatkan diri dengan Allah. Pada umumnya metode yang menjadi ajaran dalam thareqat ini didasarkan pada Al Qur’an, Hadits, dan perkata-an para shufi.
Ada beberapa pokok ajaran dalam Thareqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di antaranya ajaran tentang :
1. KESEMPURNAAN SULUK,
2. ADAB KEPADA PARA MURSYID,
3. DZIKIR.
1. KESEMPURNAAN SULUK
Ajaran yang sangat ditekankan dalam Thareqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah adalah suatu keyakinan bahwa kesempurna-an suluk (merambah jalan keshufian dalam rangka mendekatkan diri dengan Allaahh), adalah jika berada dalam 3 (tiga) dimensi keimanan, yaitu :
• Islam,
• Iman, dan
• Ihsan.
Ketiga poin tersebut biasanya dikemas dalam satu jalan three in one yang sangat populer dengan istilah :
• Syariat,
• Thareqat,dan
• Haqiqat .
1. Syariat adalah dimensi perundang-undangan dalam Islam. Ia merupakan ketentuan yang telah ditentukan oleh Allah, melalui RasulNya Muhammad SAW. baik yang berupa perintah maupun larangan.
2. Thareqat merupakan dimensi pelaksanaan syari’at tersebut.
3. Haqiqat adalah dimensi penghayatan dalam mengamalkan thareqat tersebut, dengan penghayatan atas pengalaman syari’at itulah, maka seseorang akan mendapatkan manisnya iman yang disebut dengan ma’rifat.
Para shufi menggambarkan haqiqat suluk sebagai upaya mencari mutiara yang ada di dasar lautan yang dalam. Sehingga ketiga hal itu (syari’at, thareqat, dan haqiqat) menjadi mutlak penting karena berada dalam satu sistem.
• Syari’at digambarkan sebagai kapal yang berfungsi sebagai alat transportasi untuk sampai ke tujuan.
• Thareqat sebagai lautan yang luas dan tempat adanya mutiara.
• Haqiqat adalah mutiara yang dicari-cari. Mutiara yang dicari oleh para shufi adalah ma’rifat kepada Allah. Orang tidak akan mendapatkan mutiara tanpa menggunakan kapal.
Dalam Thareqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah diajarkan bahwa thareqat diamalkan justru dalam rangka menguatkan syari’at. Karena berthareqat dengan mengabaikan syariat ibarat bermain di luar sistem, sehingga tidak akan dapat mendapatkan sesuatu kecuali kesia-siaan.
Ajaran tentang prinsip kesempurnaan suluk merupakan ajaran yang selalu ditekankan oleh pendiri tarekat Qadiriyah, yaitu Syekh Abdul Qadir al Jailani, hal ini dapat dimaklumi, karena beliau seorang sufi sunni dan sekaligus ulama fiqihh.
2. ADAB KEPADA PARA MURSYID
Adab kepada Guru atau mursyid (syekh), merupakan ajaran yang sangat prinsip dalam thareqat. Adab atau etika murid dengan mursyidnya diatur sedemikian rupa sehingga menyerupai adab para sahabat terhadap Nabi Muhammad SAW. Hal ini diyakini karena muasyarah (pergaulan) antara murid dengan mursyid melestarikan sunnahh (tradisi) yang dilakukan pada masa nabi. Kedudukan murid menempati peran sahabat sedang kedudukan mursyid menempati peran nabi dalam hal irsyad (bimbingan) dan ta’lim (pengajaran).
Seorang murid harus menghormati syekhnya lahir dan bathin. Dia harus yakin bahwa maksudnya tidak akan tercapai melainkan ditangan syekh, serta menjauhkan diri dari segala sesuatu yang dibenci oleh syekhnya.
3. DZIKIR
Tharekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah adalah termasuk tarekat dzikir. Sehingga dzikir menjadi ciri khas yang mesti ada dalam thareqat. Dalam suatu tarekat dzikir dilakukan secara terus-menerus (istiqamah), hal ini dimaksudkan sebagai suatu latihan psikologis (riyadlah al-nafs) agar seseorang dapat mengingat Allah di setiap waktu dan kesempatan. Dzikir merupakan makanan spiritual para shufi dan merupakan apresiasi cinta kepada Allah. Sebab orang yang mencintai sesuatu tentunya ia akan banyak menyebut namanya.
Yang dimaksud dzikir dalam thareqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah adalah aktivitas lidah (lisan) maupun hati (bathin) sesuai dengan yang telah dibaiatkan oleh Guru atau mursyid.
Dalam ajaran Thareqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah terdapat 2 (dua) jenis dzikir yaitu :
1. Dzikir Nafi Isbat
Yaitu dzikir kepada Allah dengan menyebut kalimat “Laa Ilahha Illallah”. Dzikir ini merupakan inti ajaran Thareqat Qadiriyah yang dilafadzkan secara jahr (dengan suara keras). Dzikir nafi isbat pertama kali dibaiatkan kepada Ali ibn Abi Thalib pada malam hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekah ke kota Yasrib (madinah) di saat Ali menggantikan posisi Nabi (menempati tempat tidur dan memakai selimut Nabi). Dengan talqin dzikir inilah Ali mempunyai keberanian dan tawakal kepada Allahh yang luar biasa dalam menghadapi maut. Alasan lain Nabi membaiat Ali dengan dzikir keras adalah karena karakteristik yang dimiliki Ali. Ia seorang yang periang, terbuka, serta suka menentang orang-orang kafir dengan mengucapkan kalimat syahadat dengan suara keras.
2. Dzikir Ismu Dzat
Yaitu dzikir kepada Allah dengan menyebut kalimat “Allah” secara sirr atau khafi (dalam hati). Dzikir ini juga disebut dengan dzikir latifah dan merupakan ciri khas dalam Tareqat Naqsyabandiyahh. Sedangkan dzikir ismu dzat dibaiatkan pertama kali oleh Nabi kepada Abu Bakar ash Shiddiq, ketika sedang menemani Nabi di Gua Tsur, pada saat berada dalam persembunyiannya dari kejaran para pembunuh Quraisy. Dalam kondisi panik Nabi mengajarkan dzikir ini sekaligus kontemplasi dengan pemusatan bahwa Allah senantiasa menyertainya.
Kedua jenis dzikir ini dibaiatkan sekaligus oleh seorang mursyid pada waktu baiat yang pertama kali. Dapatlah difahami bahwa thareqat adalah cara atau jalan bagaimana seseorang dapat berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Diawal munculnya, thareqat hanya sebuah metode bagaimana seseorang dapat mendekatkan diri dengan Allah dan masih belum terikat dengan aturan-aturan yang ketat. Tetapi pada perkembangan berikutnya thareqat mengalami perkembangan menjadi sebuah pranata kerohanian yang mempunyai elemen-elemen pokok yang mesti ada yaitu :
• Mursyid,
• Silsilah,
• Baiat,
• Murid,
• Ajaran-ajaran.
Tujuan seseorang mendalami thareqat muncul setelah ia menempuh jalan shufi (tashawwuf) melalui penyucian hati (Tashfiyatul Qalb). Pada prakteknya tashawwuf merupakan adopsi ketat dari prinsip Islami dengan jalan mengerjakan seluruh perintah wajib dan sunah agar mencapai ridla Allah.
VII. AJARAN DASAR THAREQAT QADIRIYAH WA NAQSYABANDIYAH
Ajaran thareqat Qadiriyahh wa Naqsyabandiyahh, ajaran utamanya Dzikir. Ajaran Dzikir menempati posisi sentral dalam keseluruhan doktrin thareqqat, yang sumbernya sangat jelas dikemukakan dalam berbagai ayat-ayat al Qur-an. Antara lain, bahwa orang-orang yang beriman diminta untuk selalu berdzikir dengan sebanyak-banyaknya.
Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allaahh, dzikir yang sebanyak-banyaknya. (QS. Al-Ahzab : 41).
Juga dinyatakan, dengan berdzikir membuat hati tenang atau jiwanya tenteram.
“Sesungguhnya Aku Ini adalah Allaahh, tidak ada Tuhan (yang hak) selain aku, Maka sembahlah Aku dan Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. (Qur-an Surat Thaha ayat : 14).
Dzikir kepada Allah tidak mengenal waktu, selamanya dan di mana saja selalu baik dan tetap dianjurkan. Bila seorang mu’min lupa kepada Allah maka Allah akan membuat dirinya lupa. Sebaliknya, dengan senantiasa mengingat Allah maka manusia akan merasa tentram hatinya. Adapun praktek suluk yang dilakukan murid ketika masuk tareqat dimulai dengan prosesi bai’at, atau sering juga disebut talqin dzikir. Urutan ritualnya sebagai berikut :
1. Murid dan Guru sama-sama membaca : Bismillaahhirrahmaanirrahiim.
2. Murid dan Guru sama-sama membaca : Allaahhummaftah lii futuuh al aarifin (7X).
3. Murid dan Guru sama-sama membaca : Alhamdulillaahh wash-shalaat was-salaam ‘alaa habibikal ‘adhiim habiibil ‘aliyyil adhiim Saayyidinaa Muhammad al haadii ilaa shiraatil mustaqiim.
4. Murid dan Guru sama-sama membaca : Allaahhumma shalli ‘alaa sayyidinaa Muhammad wa ‘alaa alihhi wa sallim (3X)
5. Guru mengajarkan dzikir, yang selanjutnya ditirukan oleh murid : Laa ilaaha illa Allahh (3X), Sayyidina Muhammadun Rasulullah
6. Keduanya membaca shalawat munjiyat : Allahhumma shalli ‘alaa sayyidinaa Muhammad shalâtan tunjiinaa bihaa min jamii’ alahwal wa al-‘aafaat wa taqdli lanaa bihaa jamii’al-haajat wa tuthahhirunaa bihhaa min jamii’is-sayyiaat wa tarfa’unaa bihaa indaka ‘alaad darajaat wa tuballighunaa bihhaa aqshaal ghaayaat min jamii’il-khairaat fil hayaat wa ba’dal-mamaat.
7. Guru membaca ayat: Innal ladziina yubaayi’unaka innamaa yubayi’unallaahh yadullaahhi fauqa aidiihim faman nakatsa fainnama yankutsu ‘alaa nafsihhi wa man uufia bimaa ‘aakhada alayhullaahh fasayu’tiihi ajran ‘adhiimaa.
8. Membaca fatihah untuk Rasulullaahh saw dan kepada ahhli silsilahh Qadiriyahh-Naqsyabandiyahh khususnya Sulthanul Auliya’ Syekh Abdul Qadir al-Jailani dan Sayyid Abu Qasim Junaid al-Baghdadi. Juga kepada Syekh Ahmad Khatib Sambas dan Sayyid Abdul Karim Banten serta pada guru mengambil ijazahh.
9. Guru men-tawajjuhkan murid Setelah seorang murid mengikuti talqin ini maka secara resmi dia sudah menjadi pengikut tharekat. Selanjutnya dia mengamalkan ajaran-ajaran dalam thareqat tersebut, khususnya dalam tata cara dzikirnya. Pertama-tama seorang mudzakir harus membaca istighfar sebanyak 3X, kemudian membaca shalawat 3X, baru kemudian mengucapkan dzikir dengan mata terpejam agar lebih bisa menghayati arti dan makna kalimat yang diucapkan yaitu la ilahha illa Allah. Tekniknya, mengucap kata “Laa” dengan panjang, dengan menariknya dari bawah pusat ke arah otak melalui kening tempat diantara dua alis, seolah-olah menggoreskan garis lurus dari bawah pusat ke ubun-ubun yaitu suatu garis ke-emasan kalimat tauhid.
Selanjutnya mengucapkan “Ilaahha” seraya menarik garis lurus dari otak ke arah kanan atas susu kanan dan menghantamkan kalimat “Illallaahh” ke dalam hati sanubari yang ada di bawah dada kiri dengan sekuat-kuatnya. Ini dimaksudkan agar lebih menggetarkan hati sanubari dan membakar nafsu-nafsu jahat yang dikendalikan oleh syetan.
Selain dengan metode gerakan tersebut, praktek dzikir di sini juga dilaksanakan dengan ritme dan irama tertentu. Yaitu mengucapkan kalimat Laa, Illaha, Illallah, dan mengulanginya 3X secara pelan-pelan. Masing-masing diikuti dengan penghayatan makna kalimat nafy dan isbat itu, yaitu laa ma’buda Illallah (tidak ada yang berhak disembah selain Allah), laa maqsuda Illallah (tidak ada tempat yang dituju selain Allah), dan laa maujuda illa Allah (tidak ada yang maujud selain Allah).
Setelah pengulangan ketiga, dzikir dilaksanakan dengan nada yang lebih tinggi dan dengan ritme yang lebih cepat. Semakin bertambah banyak bilangan dzikir dan semakin lama, nada dan ritmenya semakin tinggi agar “kefana’an” semakin cepat diperoleh. Setelah sampai hitungan 165 X dzikir dihentikan, dan langsung diikuti dengan ucapan :
• Laa Ilaahha Illallaahhul ‘adhimul haliim;
• Laa Ilaahha Illallaahhur-Rabbul ‘arsyil ‘adhiim ; Laa ilaahha illallaahhur-Rabbus- samaawaati wal ard wa Rabbul ‘arsyil kariim;
• Laa laahha llallaahhul malikul haqul mubiin; Muhammadur-Rasulullaah shadiqul wa’dil aamin;
• Laa Ilahha Illallah Muhammadurrasulullaahh shalallahhu ’alayhhi wassallam.
10. Sayyiduna Muhammadur Rasulullaahh shallallaahhu ‘alaihh wa sallam. Demikian teknik yang dilakukan, seterusnya setiap kali usai shalat maktubat¸ kewajiban dzikir 165 X ini menjadi wajib dilaksanakan bagi murid yang sudah bai’at. Jadi dzikir pertama yang diamalkan murid adalah dzikir nafy dan isbaat, dengan suara jahar, inilah yang merupakan inti ajaran Qadiriyahh. Setelah itu, murid dapat melangkah kepada model dzikir berikutnya yaitu ismu dzat, yang lebih menekankan pada dzikir sir dan terpusat pada beberapa “Lathifah”.
Untuk lebih jelasnya ajaran tentang pengisian “lathifahh” Nama Lathifahh Tempat Berhubungan dengan Anggota Badan Shifat Kejahatan Shifat Kebaikan:
1. Lathifatul Qalbi 2 jari di bawah dada kiri Jantung Hawa nafsu, cinta dunia, shifat iblis dan syaithan. Iman, Islam, Tauhid, ma’rifat, shifat Malaikat.
2. Lathifatur-Ruh 2 jari di bawah dada kanan Paru-paru (tamak) dan rakus Qana’ah (mererima apa adanya).
3. Lathifatus-Sirr 2 jari di atas susu kiri Hati kasar Pemarah dan dendam Pengasih, penyayang, lemah lembut.
4. Lathifatul Khafi 2 jari di atas dada kanan Limpa Hasad (dengki) dan Munafik Syukur, ridla, shabar, dan tawakkal.
5. Lathifatul Akhfa Di tengah tengah dada Empedu Riya’, takabbur, ujub, dan sum’ah Ikhlas, khusyu’, tadlarru’ (rendah hati).
6. Lathifatun-Nafs Natqiyahh Di antara 2 kening Otak Jasmani Banyak khayalan, dan angan-angan Jiwa tenteram dan tenang pikiran.
7. Lathifatul Kullu Jasad Seluruh tubuh Seluruh anggota badan Jahil, lalai, lupa, lengah Bertambah ilmu dan amal.
beberapa shifat yang harus dihilangkan dalam diri seorang murid, dengan melalui dzikir yang harus terisi dalam “lathifah” yang berjumlah 7 “lathifah” tersebut, untuk mencapai shifat-shifat yang terpuji. Sementara dzikir yang harus dilakukan oleh seorang murid adalah sangat tergantung kepada kondisi bathin seorang murid, berapa kali mereka akan berdzikir, dan untuk menilai kemampuan murid dalam jumlah yang harus dibebankannya adalah sang guru dapat menilainya melalui “indera keenam”. Selain dzikir sebagai ajaran khusus, tareqat Qadiriyah- Naqsyabandiyahh tetap sangat menekankan keselarasan pengamalan trilogi Islam, Iman, dan Ihsan atau yang lebih akrab lagi dengan istilah syari’at, thareqat, dan haqeqat, 24 jam sehari semalam. Dalam hal ini pengamalan dalam thareqat haqeqatnya tidak jauh berbeda dengan kalangan Islam lain. Semuanya dimaksudkan untuk dapat mengimplementasikan Islam secara kaafah, tidak saja dimensi lahir tetapi juga dimensi bathin.
IX. UPACARA-UPACARA/RITUAL DALAM THARIQAH QADIRIYAH WA NAQSYABANDIYAHH
Maksud dari upacara-upacara ritual adalah beberapa kegiatan yang “disakralkan”, dan mempunyai tata cara tertentu (upacara dan prosesi yang khidmat), dan membutuhkan keterlibatan bersama antara murid dan mursyid.
Ada beberapa bentuk upacara ritual dalam Thareqat Qadiriyahh wa Naqsyabandiyahh sebagai sebuah jam’iyyah. Yaitu ; pembai’atan, khataman, dan manaqiban. Ketiga bentuk upacara ritual dalam thareqat ini dilaksanakan oleh semua kemursyidan yang ada di Indonesia, dengan prosesi kurang lebih sama. Tapi dalam istilah (nama kegiatan) kadang berbeda, untuk menunjuk pada suatu kegiatan yang sama. Seperti pembai’atan, ada sementara kemursyidan menyebutnya dengan penalqinan. Demikian pula khataman, ada yang menyebutnya dengan istilah tawajjuhan. Tetapi perbedaan itu sama sekali tidak membedakan isi dan makna kegiatan tersebut.
1. Pembai’atan
Upacara pemberian khirqah, atau pentasbihan seseorang untuk menjadi murid, atau pengikut, atau pengamal ajaran tareqat ini disebut dengan mubaya’ah, atau pentalqinan dzikir. Kedua istilah tersebut (bai’at dan talqin), dipergunakan dalam thareqat ini, dan populer di wilayah kemursyidan masing-masing.
Pembai’atan adalah sebuah prosesi perjanjian, antara seorang murid terhadap seorang mursyid. Seorang murid menyerahkan dirinya untuk dibina dan dibimbing dalam rangka membersihkan jiwanya, dan mendekatkan diri kepada Tuhannya. Dan selanjutnya seorang mursyid menerimannya dengan mengajarkan dzikir talqin al-dzikra, kepadanya.
Upacara pembai’atan merupakan langkah awal yang harus dilalui oleh seorang salik, khususnya seorang yang memasuki jalan hidup kesyufian melalui thareqat. Menurut para ahli thareqat “bai’at” merupakan syarat syahnya suatu perjalanan spiritual (suluk) Syufi besar Abu Yazid al Bustami, berkata, yang artinya kurang lebih :
“Barangsiapa yang tidak mempunyai guru , maka imamnya adalah syetan”.
Walaupun demikian ada juga beberapa syufi yang melakukan suluk tanpa pembai’atan formal seperti dalam thareqat. Maka mereka menerima bai’at secara berzakhi (oleh seorang wali besar yang sudah wafat, ataupun oleh Nabi sendiri). Mereka ini disebut dengan kaum uwaisiy (nisbat kepada Uwais al Qarni). Misalnya al Kharaqani yang melakukan suluk dengan bimbingan Abu Yazid al-Bustami dan al Attar oleh arwah al Hallaj.
Menurut ketetapan Jam’iyyahh Ahli Thareqat al-Mu’tabarah al-Nahdiyyah, hukum dasar bai’at dzikr (tareqat) adalah al-sunnahh al-Nabawiyah. Akan tetapi bisa menjadi wajib, apabila seseorang tidak dapat membersihkan jiwanya kecuali dengan bai’at itu. Dan bagi yang telah berbai’at, hukum mengamalkannya adalah wajib, berdasarkan firman Allah dalam (Qur’an Surat al-Isra ayat:34):
Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji ; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.
Bentuk pembai’atan itu ada dua macam. Kedua macam pembaiatan ini dipraktekkan dalam thareqat ini, yaitu pembai’atan fardiyyah (individual) dan pembai’atan jam’iyyah (kolektif). Baik bai’at secara individual maupun kolektif, keduanya dilaksanakan dalam rangka melestarikan tradisi Rasul. Di antara hadits yang dipergunakan dasar antara lain :
Prosesi pembai’atan dalam Tareqat Qadiriyah wa Nasqsyabandiyah biasanya dilaksanakan setelah calon murid mengetahui terlebih dahulu ketentuan-ketentuan/penjelasan-penjelasan thareqat tersebut, terutama menyangkut masalah kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakannya, termasuk tatacara berbai’at. Sehingga baru setelah merasa mantap, dan mampu seorang murid datang mengahadap mursyid untuk dibai’at.
1. Prosesi pembai’atan itu adalah sebagai berikut :
Dalam Keada-an suci, murid duduk menghadap mursyid dengan posisi duduk ‘aks tawarruk (kebalikan duduk tawarruk tasyahud akhir). Dengan penuh kekhusukan, taubat dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada mursyid untuk dibimbing.
2. Selanjutnya mursyid membimbing murid untuk membaca kalimat berikut ini;
•Basmalah ; Do’a yang artinya “Ya Allah bukakan untukku dengan keterbukaan para ‘arifin” 7X;
•Basmallah, hamdallah dan shalawat; Basmallah dan istighfar tiga kali; Shalawat 3X.
•Kemudian Guru atau Syekh atau Mursyid mengajarkan dzikr, dan selanjutnya murid menirukan: Laa ilaha illaa Allah, 3X.
•Dan ditutup dengan ucapan Sayyiduna Muhammadun Shallallaahhu ‘alaihhi wassallam
4. Kemudian keduanya membaca shalawat munjiat.
5. Kemudian mursyid menuntun murid untuk membaca ayat bai’at: Surat al-fath ayat 10, dengan diawali ta’awud dan basmalah, yang artinya; “Aku berlindung kepada Allaahh, dari syetan yang terkutuk. Dengan nama Allaahh Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya, akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri, dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allahh, maka Allah akan memberinya pahala yang besar.”
6. Kemudian berhadiah fatihah kepada: Rasulullah SAW. para masyayikh ahhli silsilah al Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, khsusunya syeikh Abdul Qadir al Jailani dan Syekh Abu al Qasim Junaidi al Bagdadi satu kali.
7. Kemudian syeikh atau mursyid berdo’a untuk muridnya sekedarnya.
8. Selanjutnya mursyid memberikan tawajjuh kepada murid seribu kali, atau lebih.
Tawajjuh ini dilaksanakan dengan cara memejamkan kedua mata rapat-rapat, mulut juga ditutup rapat-rapat, dengan menyentuhkan lidah ke langit-langit mulut. Dan menyebut nama Allah (Allah, Allah) dalam hati 1000 hingga 5000x, dengan dikonsentrasikan (difokuskan) ke arah sanubari murid. Demikian juga murid melaksanakan hal yang serupa, untuk dirinya.
Itulah prosesi pembai’atan yang merupakan pembai’atan atau talqin dua macam dzikr sekaligus, Yaitu dzikir nafi isbat (Qadiriyah), dan dzikr lathaif (Naqsyabandiyah). Baru pembai’atan selanjutnya yang beda hanya untuk dzikir latahif saja, sampai tujuh kali. Dan pembai’atan untuk mengamalkan muraqabah dua puluh kali.
Dari segi prosesinya, pembai’atan yang ada dalam thareqat ini jelas berbeda dengan prosesi yang ada dalam thareqat induknya. Di dalam Thareqat Qadiriyah pembai’atan hanya untuk dzikrun - nafi isbat, dengan didahului shalat sunnah dua raka’at, dan prosesi ijab qabul, serta acara pemberian wasiat dan pesan-pesan untuk berlaku keshufian, oleh mursyid kepada murid yang menandai berakhirnya pembai’atan. Demikian juga prosesi tersebut berbeda dengan yang ada dalam tradisi Thareqat Naqsyabandiyah.
Selain alasan-alasan “syar’i” tersebut, talqin dzikir (pembai’atan) juga dimaksudkan untuk memberikan tekanan psikologis bagi seseorang untuk senantiasa melaksanakan dzikir karena janji dan bai’atnya kepada mursyid, sehingga akhirnya dzikir menjadi bagian dari hidupnya. Ibarat pohon atau tanaman, dzikir (kalimat thayyibahh), harus ditanamkan oleh seorang ahhli yang berhak untuk itu, itulah mursyid. Jika dzikir yang ditanamkan oleh mursyid, terus menerus dirawat - dengan mengamalkannya - maka tumbuhlah ia menjadi pohon yang baik, Dan senantiasa akan menghasilkan buah setiap saat dan itu adalah pohon kepribadian dan akhlak yang mulia. (lihat QS. Ibrahim : 34).
Dan dia Telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. dan jika kamu menghitung nikmat Allaahh, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat dhalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).
2. Manaqiban
Upacara ritual yang menjadi tradisi dalam Thareqat Qadiriyahh wa Naqsyabandiyahh yang tidak kalah pentingnya adalah manaqiban. Manakiban selain amalan beribadh juga mempunyai aspek mistikal. Sebenarnya kata manaqiban berasal dari kata manaqib (bahasa Arab), yang berarti biografi ditambah dengan akhiran: an, menjadi manaqiban sebagai istilah yang berarti kegiatan pembacaan manaqib (biografi), syekh Abdul Qadir al Jailani, pendiri Thareqat Qadiriyah.
Isi kandungan kitab manaqib itu meliputi: silsilah nasab syekh Abdul Qadir al Jailani, sejarah hidupnya, akhlaq dan karamah-karamahnya, di samping adanya do’a-do’a bersajak (nadhaman, bahr dan rajaz) yang bermuatan pujian dan tawassul melalui dirinya.
Pengakuan akan kekuatan magis dan mistis dalam ritual manaqiban ini karena adanya keyakinan bahwa syekh Abdul Qadir al Jailani adalah qutbil auliya’ yang sangat istimewa, beliau seorang pemimpin Aulia yang mendapat mandat dari Allah untuk memberikan karamah pada setiap murid-muridnya/pengikutnya. (pengaruh mistis dan spiritual) dalam kehidupan seseorang. Hal ini dapat dipahami dalam sya’ir berikut :
“Para hamba Allah, dan para tokoh-tokohnya Allah, tolonglah kami karena kerelaan Allah. Jadilah Tuan semua penolong kami karena Allah, semoga dapat berhasil maksud kami, sebab keutamaan Allah. Semoga rahmat Allah atas yang mencukupi (nabi Muhammad), dan semoga keselamatan atas pemberi syafa’at (Nabi Muhammad). Karena syekh Muhyiddin (Abdul Qadir) semoga engkau menyelamatkan kami, dari berbagai macam cobaan yaa Allah”.
Tetapi dari sekian banyak muatan mistis dan legenda tentang syekh Abdul Qadir al Jailani, yang paling dianggap istimewa dan diyakini memiliki berkah besar dalam upacara manaqiban adalah karena dalam kitab manaqib terdapat silsilah nasab syekh.
Dengan membaca silsilah nasab ini seseorang akan mendapat berkah yang sangat banyak. Karena itu nasabnya itu dinadhamkan sebagai berikut, yang artinya: “Nasab ini seakan-akan menjadi mataharinya waktu Dhuha, karena terangnya sebagai penyangga munculnya waktu pagi. Nasabnya (syeikh) telah bersinar di wajah Adam, sehingga malaikat langit diperintahkan sujud kepadanya. Nasab ini dalam kitab Allah sebagai hujjah yang terkuat telah dipuji, maka barangsiapa yang sengaja ingkar pasti Kalah”.
Sehingga setelah nasabnya syeikh dibaca, para masyayikh dan hadlirin peserta manaqiban, semua menjawab dengan do’a, yang artinya, “Mudahkan setiap urusan kami dan ma’afkan kami, dari setiap duka, bala’ dan kemelaratan saya.”
Secara umum diterimanya upacara manaqiban ini oleh para Kiai di Jawa khususnya, karena di dalam manaqib disebut-sebut nama para Nabi dan orang-orang shaleh. Khususnya pada pribadi syekh sendiri. Sedangkan hal-hal tersebut diyakini sebagai suatu amal shaleh (kebaikan), berdasarkan sabda Nabi, “Mengingat para Nabi adalah termasuk ibadah, mengingat orang-orang shaleh adalah kafarat, mengingat kematian adalah shadaqah, dan mengingat kubur akan mendekatkan kalian ke surga.” (HR. Imam Dailami).
Sedangkan manaqiban dalam tradisi Thareqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah sebagai jam’iyyah merupakan kegiatan rutin. Ada yang menyelenggarakan pada acara mujahadah bersama setiap minggu, atau acara khataman dan tawajjuhan setiap bulan atau pada acara khaul Syekh Abdul Qadir al Jailani yang jatuh pada tanggal 11 Rabi’ul tsani Karena Syekh wafat pada tanggal 11 Robi’ul tsani 561 H.
Tradisi pembacaan manaqib ini, dilaksanakan secara terpisah dan merupakan seremonial tersendiri. Tidak termasuk dalam kegiatan mujahadah, maupun khataman. Misalnya tradisi yang berlaku dalam Thareqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah untuk kemursyidan. Manaqiban ini diadakan rutin setiap bulan sekali, dengan tertib acaranya sebagai berikut; pembaca-an ayat suci Al qur-an, pembacaan tasbih, pembacaan tawassul, pembacaan manaqib, ceramah agama, dan penutup.
3. Khataman
Kegiatan ini merupakan upacara ritual yang biasanya dilaksanakan secara rutin di semua cabang kemursyidan. Ada yang menyelenggarakan sebagai kegiatan mingguan, tetapi banyak juga yang menyelenggarakan kegiatannya sebagai kegiatan bulanan, dan keliwonan (36 hari).
Walaupun ada sementara kemursyidan yang menamakan kegiatan ini dengan istilah lain, yaitu tawajjuhan, atau khususiyah, tetapi pada dasarnya sama, yaitu pembacaan ratib atau aurad khataman tharekat ini.
Dari segi tujuannya, khataman merupakan kegiatan individual, yakni amalan tertentu yang harus dikerjakan oleh seorang murid yang telah mengkhatamkan tarbiyat Dzikr lathaif. Dan khataman sebagai suatu ritual (upacara sakral) dilakukan dalam rangka tasyakuran atas keberhasilan seorang murid dalam melaksanakan sejumlah beban dan kewajiban dalam semua tingkatan Dzikir lathaif.
Tetapi dalam prakteknya khataman merupakan upacara ritual yang “resmi” lengkap dan rutin, sekalipun mungkin tidak ada yang sedang syukuran khataman. Kegiatan khataman ini dipimpin langsung oleh mursyid atau asisten mursyid (khalifah kubra). Sehingga forum khataman sekaligus berfungsi sebagai forum tawajjuh, serta silaturrahmi antara para ikhwan.
Kegiatan khataman ini biasanya juga disebut mujahadah, karena memang upacara dan kegiatan ini memang dimaksudkan untuk mujahadah (bersungguh-sungguh dalam meningkatkan kualitas spiritual) baik dengan melakukan dzikir dan wirid, maupun dengan pengajian dan bimbingan ruhaniyah oleh guru.
Torekat berasal dari kata ‘thariqah’ yang artinya ‘jalan’. Jalan yang dimaksud di sini adalah jalan untuk menjadi orang bertaqwa, menjadi orang yang diridlhoi Allah s.w.t. Secara praktisnya thareqat adalah kumpulan amalan-amalan lahir dan batin yang bertujuan untuk membawa seseorang untuk menjadi orang bertaqwa. Ada 2 macam thareqat yaitu thareqat wajib dan thareqat sunat.
• Thareqat wajib, yaitu amalan-amalan wajib, baik fardlu ain dan fardlu kifayahh yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim. thareqat wajib yang utama adalah mengamalkan rukun Islam. Amalan-amalan wajib ini insya Allah akan membuat pengamalnya menjadi orang bertaqwa yang dipelihara oleh Allaahh. Paket thareqat wajib ini sudah ditentukan oleh Allah s.w.t melalui Al Qur-an dan Al Hadits. Contoh amalan wajib yang utama adalah shalat, puasa, zakat, haji. Amalan wajib lain antara lain adalah menutup aurat , makan makanan halal dan lain sebagainya.
• Thareqat sunnat, yaitu kumpulan amalan-amalan sunnat dan mubah yang diarahkan sesuai dengan 5 (lima) syarat ibadah untuk membuat pengamalnya menjadi orang bertaqwa. Tentu saja orang yang hendak mengamalkan thareqat sunnah hendaklah sudah mengamalkan thareqat wajib. Jadi thareqat sunnahh ini adalah tambahan amalan-amalan di atas thareqat wajib. Paket thareqat sunat ini disusun oleh seorang guru mursyid untuk diamalkan oleh murid-murid dan pengikutnya. Isi dari paket thareqat sunnat ini tidak tetap, tergantung keada-an zaman thareqat tersebut dan juga keada-an sang murid atau pengikut. Hal-hal yang dapat menjadi isi thareqat sunnat ada ribuan jumlahnya, seperti shalat sunat, membaca Al Qur’an, puasa sunnat, wirid, dzikir dan lain sebagainya.
II. PENGERTIAN THARIQAH
Thareqat ialah Ilmu untuk mengetahui hal ihwalnya nafsu dan shifat-shifatnya.
Di dalam kitab Jami’ul Lishul fil Auliya’ karya Syaikh Ahmad Al Kamisykhonawi An-Naqsyabandi disebutkan : ‘Ath-Thari’qahh hhiya As sirahh al mukhtash shahh bish shalihin ilallahh min qath’il manazil wat taraqqi fil maqamat.”
(Thariqahh adalah laku tertentu bagi orang-orang yang menempuh jalan kepada Allah, berupa memutus/meninggalkan tempat-tempat hunian dan naik ke maqam-maqam/tempat-tempat mulia).
Thariqah itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu :
1. Thariqah Syari’ah dan
2. Thariqah Wushul.
1. Thariqahh Syari’ah sebagaimana diketahui dalam ilmu fiqih, adalah aturan-aturan fiqhh sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab para fuqaha yang mu’tabar (diakui) keimaman mereka, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, yang mereka semua adalah para Mujtahhid Mutlak. Dan juga para fuqahha, dari kalangan Mujtahid Madzhab, seperti An-Nawawi, Ar Ramli, Al ‘Asqalani, As Subki, Al Haitami, Ar-Rafi’i dan sebagainya. Dan juga dari kalangan muhadditsin dan mufassirrin, seperti Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Turmudzi, Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majahh, As-Suyuthi, Al Mahalli, Al Baidlawi, Ibnu Katsir dan sebagainya. Mereka adalah para ‘alim yang telah tersebar luas ilmu-ilmu mereka dan telah diakui keagungan kewalian serta keimaman mereka di Dunia Islam. Dan masing-masing mereka telah diakui kedalamannya dalam ilmu syari’at, akhlaq, tafsir, hadits dan lain sebagainya.
2. Thariqah Wushul adalah natijahh (hasil) dari Thariqah Syari’ah dan terbagi menjadi dua kelompok, yang keduanya senantiasa menempuh jalan untuk bisa wushul (sampai kepada Allah SWT).
• Yang pertama adalah bagi orang-orang yang berpegang pada sunnah Al Mushthafa Muhammad SAW, adab dan akhlaqnya, yang merupakan pintu pertama untuk masuk pada thariqahh wushul. Dan seharusnya bagi setiap orang yang berkeinginan untuk wushul, hendaknya mengetahui terlebih dahulu masalah ini, kemudian syarat-syarat memasuki thariqah apapun serta kaifiah atau tata caranya. Dan hendaknya ber’ittiba’ (mengikuti) guru dan syaikhnya yang disertai dengan khidmah (pengabdian), muwafaqah (menganggap benar) dan menghindarkan su’udh-dhan (buruk sangka) dengan keberada-an syaikhnya dalam segala keadaan dan ucapannya, walaupun secara lahir bertentangan dengan kebiasaan. Karena seorang syaikh dalam melakukan tarbiyahh (pengajaran) ini, terkadang bertindak seperti bengkel listrik yang bekerja mereparasi listrik, dimana sudah barang tentu kedua tangannya berlumur kotoran-kotoran (yang tidak najis). Tetapi hal tersebut terjadi karena upayanya menyambung kabel yang putus, agar lampu bisa menyala. Kalau kita hanya melihat yang tampak saja yang berupa kotoran-kotoran, tentu kita akan mengingkarinya. Akan tetapi kalau kita melihat hal tersebut sebagai upaya menyalakan lampu, tentu kita akan menganggapnya baik bahkan suatu keharusan. Inilah seperti pekerjaan guru mursyid ketika mengupayakan agar hati muridnya bersinar. Dan inilah sebagian dari khawariqulil ‘adah (hal-hal yang keluar dari kebiasaan) yang kadang-kadang muncul pada seorang guru atau syaikh. Maka dari itu bagi setiap orang yang akan merambah thariqah wushul, tidak boleh tidak harus berpegang pada laku etika dan tata krama. Bukankah Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan perilaku-perilaku yang mulia?”
• Adapun Thariqah Wushul yang kedua adalah bagi orang yang hendak meraih natijahh (hasil) dari thariqah wushul yang pertama, dia mesti memperindah dan meningkatkan dirinya dengan syari’at Allah dan sunnah RasulNya, terutama ketika suluknya. Dan natijahh (hasil) dari thariqah yang kedua ini adalah untuk membersihkan hati dan sanubari, sehingga yang tampak dalam perilaku dan ucapannya sesuatu yang tidak keluar (tidak datang-red) dari Syari’atul Gharra’ (Syari’ah yang cemerlang) untuk meraih Thariqatul Baidla’ (Thariqahh yang putih). Hal itu bisa terjadi bila keberada-an seseorang itu bersih dari kelalaian, hal-hal yang nista dan halhal yang merusakkan, yang semua itu adalah bahaya yang besar. Maka dengan itu kita tahu bahwa thariqahh disini adalah suatu praktek perbuatan untuk membersihkan hati dan mensucikan diri dari segala kotoran yang menempel dan berkarat, kelalaian dan salah pahamnya kebodohan. Aura hati itu tidak bisa suci (bersih) kecuali dengan dzikir kepada Allahh dengan cara tertentu. Oleh karena itu wajib bagi setiap mu’min -setelah mengetahui ‘aqidatul ‘awam 50 (lima) shifat wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah dan Para RasulNya) dan pekerja-an-pekerja-an harian yang disyari’atkan Allah SWT, berupa shalat yang meliputi syarat-syarat, rukun-rukun dan hal-hal yang membatalkannya, zakat, puasa dan haji, untuk meningkatkan diri dan memasuki thariqahh dzikir dengan cara khusus/tertentu. Dzikir merupakan upaya untuk membersihkan hati dari kotoran dan kelalaian. Pembersihan dari hal tersebut adalah wajib, maka memasuki thariqahh, wajib hukumnya. Sedang apabila dzikir itu sekedar untuk amalan saja artinya sekedar untuk menambah ibadah saja, maka hukumnya adalah mustahab (sunnah). Tetapi kalau benar masuk thariqah itu hukumnya mustahab, lalu dari mana hati itu akan mengetahui cara untuk mengagungkan keagungan Allah, kalau didalamnya terdapat banyak kelalaian. Sesuatu yang sulit tentunya. Karena tingkatan kadar keimanan seseorang itu tergantung pada kadar kebersihan hatinya :
• Tingkatan kebersihan hatinya tergantung pada kadar kejujuran-nya.
• Tingkatan kejujuran-nya tergantung pada kadar keikhlashan-nya.
• Dan tingkatan keikhlashan-nya tergantung pada kadar keridla-an-nya terhadap apa yang telah diberikan Allah kepadanya
III. SULUK DALAM THARIQAT
Asas pertama thariqahh adalah al iradah, yaitu kehendak atau kemauan bulat untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah dengan menapaki jalan-jalan (menujuNya) secara sungguh-sugguh sedemikan rupa sehingga yang bersangkutan benar-benar mengalami dan merasakan (kehadiran) Tuhan (Rukun Ihsan : Seolah-olah beribadah melihat Allah apabila tidak maka sadirilah bahwa Allah melihatnya). Perintah Tuhan mengenai hal ini sangat jelas ketika berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allaahh dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepadaNya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan/kemenangan. (Al Maidah : 35).
Sebenarnya tidak hanya manusia yang diperintahkan Tuhan untuk menapaki jalan-jalanNya lebah-pun bahkan menjadi objek yang di-khitab Tuhan dengan perintah yang sama melalui wahyu yang disampaikan kepadanya, Maka tempuhlah jalan-jalan TuhanMu yang telah dimudahkan untukmu.
Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang Telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan. (Al-Nahl : 69).
Dalam kasus lebah ini terdapat tanda ketuhanan yang layak direnungkan oleh murid (orang yang berkehendak bulat bertemu dengan Tuhan). Perjalanan menuju Tuhan tidak mungkin dapat dilakukan, dan jalan-jalan menuju Tuhan pun tidak akan pernah tersingkap, kecuali dengan mujahadah (perjuangan yang sungguh-sungguh) yang dimotori oleh iradah tersebut. Hal ini ditegaskan Tuhan dalam sebuah firmanNya:
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridla-an) kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan menuju kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik (ihsan). (Al-Ankabut : 69).
Dalam wacana shufi perjalanan dalam menempuh jalan-jalan menuju Tuhan disebut dengan suluk dan orang yang melakukan perjalanan disebut salik.
Di dalam suluk para salik menyibukan diri dengan riyadlahh (latihan kejiwa-an) dalam rangka pendekatan diri kepada Allah (al-taqarrub ilallah) melalui pengamalan ibadah-ibadah faraidl (wajib) dan nawafil (sunnah); semua aktivitas ini dilakukan diatas fondasi dzikrullah, di samping dzikrullah itu sendiri dijadikan sebagai amalan yang berdiri sendiri, lepas dari ibadah-ibadah lainnya, sebagai wujud mutlak pengamalan firman Allaahh dalam sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Muslim:
Aku sesuai dengan prasangka hambaKu kepadaKu, dan Aku bersamanya ketika ia berdzikir kepadaKu; jika ia berdzikir kepadaKu dalam dirinya,maka Aku berdzikir kepadanya dalam diriKu; jika ia berdzikir kepadaKu dalam suatu kelompok, maka Aku berdzikir kepadanya dalam kelompok yang lebih baik daripada mereka. Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya sehasta; jika ia mendekat kepada-Ku sehasta; maka Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia mendatangi-Ku dalam keadaan berjalan, maka Aku mendatanginya dalam keadaan berlari (Shahih al-Bukhari, VI: 2694; Shahih Muslim, IV: 2061).
Intinya semua sunnah Nabi sebagai model al Qur’an yang hidup, nyata, dan sempurna, yang dalam bahasa Aisyahh diungkapkan dengan redaksi akhlak Nabi adalah al-Quran (Musnad Ahmad, VI: 91; Al-Mu'jam al-Awsath, I: 30), diwujudkan secara gamblang dan sungguh-sungguh dalam suluk. Berkekalan dalam wudlu, berdzikir dalam setiap keada-an (berdiri, duduk dan berbaring), berjama-ah dalam semua shalat wajib, menjaga moderasi antara lapar dan kenyang, menghiasi waktu malam dengan berbagai ibadah dan salat sunnahh, mengosongkan kalbu dari selain Allah, mengarahkan segenap konsentrasi dan perhatian sebagian contoh sunnahh Nabi yang dipraktekkan dalam suluk.
Suluk sekaligus, merupakan jalan menuntut ilmu dan marifat yang dengannya Allah melempangkan jalan menuju sorga yang notabene jalan menuju Allah sendiri karena sorga tidak ada kecuali di sisi Allah. Sebuah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Muslim, dan imam-imam hadis lainnya, mendukung kenyata-an ini :
Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, niscaya Allah memudahkan baginya jalan menuju sorga (Shahih al-Bukhari, I: 37; Shahih Muslim, IV: 2074; Musnad Ahmad, II: 325).
Suluk dalam Pandangan Ibn Taimiyah
Ibn Taimiyahh yang selama ini dituding sebagai anti thariqahh ternyata justru sangat mendukung suluk sebagai unsur fundamental dalam thariqahh. Dalam kaitan ini beliau menegaskan dalam Majmu' al Fatawanya:
Suluk adalah menempuh jalan yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya berupa realisasi akidah, ibadah, akhlak.
Semua ini sangat jelas dalam ibadah al Qur’an dan al-Sunnah, karena suluk menempati posisi makanan yang merupakan keharusan bagi orang mukmin. Oleh karena itu, semua shahabat mengenal suluk dengan petunjuk al Qu’ran dan al-Sunnah dan sekaligus dari penyampaian Rasul sendiri; mereka dalam hal itu tidak membutuhkan ahhli-ahhli fikihh dari kalangan shahabat, dan mereka pun dalam hal itu tidak pernah saling bertentangan satu sama lain, sebagaimana mereka saling bertentangan dalam kasus-kasus fikihh yang pengetahuan tentang kasus-kasus ini tertutup bagi kebanyakan shahabat, sehingga mereka berbicara dalam fatwa-fatwa yang diminta oleh suatu kelompok dalam kasus-kasus itu.
Adapun (suluk) yang dilakukan oleh orang yang hendak mendekatkan diri kepada Allah dengan mengintensifkan ibadah yang diwajibkan dan ibadah yang disunnahkan, maka masing-masing dari mereka berpedoman kepada al-Qur-an dan al-Sunnah, karena al Qu’ran dan al Hadits sarat dengan hal ini. Dan jika salah seorang dari mereka dalam hal itu berbicara dengan perkataan yang tidak ia sandarkan kepada dirinya sendiri, maka perkataan itu atau maknanya disandarkan kepada Allah dan RasulNya; kadang-kadang di antara mereka ada yang mengucapkan kata-kata hikmah, dan hal itu ternyata berasal dari Nabi saw sendiri; ini sama dengan kata-kata hikmah, yang dikatakan orang dalam menafsirkan firman Allah nurun 'ala nurin 'cahaya di atas cahaya' (Majmu' al-Fatawa, XIX: 273).
Jadi, dalam pandangan Ibn Taimiyah, sebuah pandangan yang sangat ideal, suluk merupakan masalah akidah sehingga tidak dapat didekati dengan pendekatan fiqih.
Hal-hal yang berkena-an dengan suluk semuanya didasarkan pada al Qur’an dan as Sunnahh. Khalwat Nabi saw di Gua Hira’ khususnya, menjadi rujukan utama bagi para salik
Melalui suluk yang memenuhi syarat dan rukunnya seseorang dengan izin Tuhannya akan mencapai tauhid yang murni atau mengalami Tuhan secara haqqul-yaqin keyakinan yang hak yang tidak bercampur dengan keraguan sedikit pun, sehingga tidak lagi memerlukan argumentasi-argumentasi logis mengenai keberada-an dan keesa-an-Nya, ia sudah mendapatkan pancaran cahaya langsung dari Tuhan sehingga ia pun berjalan di muka bumi bagaikan pelita yang menerangi sekelilingnya. Pelita mereka berasal dari nurun ‘ala nurin “cahaya di atas cahaya”, yang oleh Ibn al Qayyin sambil mengutip firman Tuhan dalam ayat ke 35 dari surah an Nur) :
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpama-an cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus)*, yang di dalamnya ada Pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya))*, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allaahh membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
)* yang dimaksud lubang yang tidak tembus (misykat) ialah suatu lobang di dinding rumah yang tidak tembus sampai kesebelahnya, Biasanya digunakan untuk tempat lampu, atau barang-barang lain.
)* Maksudnya : pohon zaitun itu tumbuh di puncak bukit ia dapat sinar matahari baik di waktu matahari terbit maupun di waktu matahari akan terbenam, sehingga pohonnya subur dan buahnya menghasilkan minyak yang baik.
digambarkan dengan ungkapan :
Lampu-lampu seseorang yang “mengalami”Tuhan secara tahkik (muwahhid) dan yang berjalan (salik) di atas jalan dan thariqah Rasul menyala dan bersinar dari pohon yang diberkati, pohon zaitun yang tidak tumbuh di Timur dan tidak pula di Barat; yang minyaknya sudah hampir bisa menerangi tidak disentuh api; nurun ‘ala nurin (cahaya di atas cahaya), Allaahh membimbing kepada cahaya-Nya orang-orang yang dikehendakiNya, dan Allaahh membuat perumpama-an-perumpama-an bagi manusia.
Suluk, Realisasi Khalwat, ‘Uzlahh dan I’tikaf
Dalam thareqat shufi suluk dipahami dan diwujudkan dalam bentuk khalwat dan ‘uzlahh, yaitu mengasingkan diri selama jangka waktu tertentu.
Teladan yang diambil oleh para salik dalam hal ini seperti ditegaskan Buya Hamka adalah kegemaran Nabi melakukan khalwat dan tahannuts di Gua Hira’. Imam al-Bukhari dan Muslim serta beberapa imam hadits lainnya meriwayatkan sebuah hadits bahwa umm al-mu’min Aisyahh berkata :
Nabi digemarkan oleh Allaahh untuk melakukan khalwat, beliau selalu berkhalwat di Gua Hira’ dan melakukan tahannuts di sana, yaitu beribadah selama beberapa malam tertentu.
Para shufi melakukan suluk di masjid-masjid atau surau-surau yang oleh al Qu’ran disebut sebagai rumah-rumah yang di-izinkan Allah untuk dimuli akan dan dijadikan tempat berdzikir menyebut asma-Nya.
Bertasbih)* kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, (Qur-an surat Al-Nur ayat:36).
)*yang bertasbih ialah laki-laki yang tersebut pada ayat 37 berikut ini :
Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.
Rumah-rumah semacam inilah yang oleh para salik dijadikan tempat khalwat dan 'uzlah, mereka menetap disitu selama beberapa hari untuk melakukan ibadah dan dzikir secara intensif. Dengan demikian, tidak mengherankan apabila suluk mereka disebut juga dengan I’tikaf yang dari segi bahasa bermakna berdiam di sebuah tempat selama jangka waktu tertentu.
Dalam kasus ini para salik merujuk kepada I’tikaf Nabi SAW selama sepuluh hari dalam bulan Ramadhan. Dalam Shahih al-Bukhari disebutkan bahwa ‘Aisyahh ra. Berkata :
Nabi SAW selalu I’tikaf selama sepuluh hari terakhir dari bulan bulan Ramadlan sampai Allah mewafatkan beliau (Shahih al Bukhari, II: 213; Shahih Muslim, II: 831).
Namun begitu, sebagaimana diceritakan oleh Abu Dzar al-Ghiffari, tidak jarang pula Nabi melakukan I’tikaf sepuluh hari pertama dan kadang-kadang sepuluh hari ke dua atau pertengahan dari bulan Ramadlan (Shahih al-Bukhari, II: 713; Shahih Muslim, II: 825).
Dan satu yang barangkali penting digaris bawahi di sini adalah bahwa I’tikaf pada dasarnya merupakan ibadah tersendiri, artinya tidak harus terkait dengan keharusan berpuasa dan tidak harus pula terkait dengan bulan Ramadlan. Imam al-Hakim dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Ibn. Abbas bahwa Nabi SAW bersabda:
Tidak ada keharusan berpuasa atas orang yang beri’tikaf kecuali ia menetapkan puasa itu untuk dirinya sendiri (Al-Mustadrak, I: 605; Sunan al-Baihaqi al-Kubra, IV: 318; Sunan Daruquthi, II: 199).
Imam al-Baihaqi dan beberapa Imam hadits lainnya meriwayatkan dari Aisyahh ra. bahwa ia berkata :
Nabi SAW pernah melakukan I’tikaf selama sepuluh hari pertama bulan syawal (Sunan al-Baihaqi al-Kubra, IV: 318;Al Imam Abi Dawud, II: 331; al- Imam al-Kubra, II: 260).
Ibn al Qayyim mengutip pendapat ulama yang mendukung keabsahan I’tikaf sebagai ibadahh yang mandiri ketika ia mengatakan :
I’tikaf merupakan ibadah yang berdiri sendiri, sehingga puasa tidak menjadi syarat dalam I’tikaf sebagaimana halnya ibadah-ibadah lainnya seperti haji, shalat, jihad dan ribath (merabit); I’tikaf adalah menetap di suatu tempat tertentu untuk melakukan keta-atan kepada Allah Ta’ala, sehingga puasa tidak menjadi syarat dalam I’tikaf sebagaimana halnya ribath (merabit); dan I’tikaf merupakan qurbah (pendekatan diri kepada Allah) itu sendiri sehingga puasa tidak menjadi syarat dalam I’tikaf sebagaimana halnya haji (Hasyiyahh Ibn al-Qayyim, VII: 106).
Satu hal yang pasti adalah bahwa suluk yang dilakukan dengan ikhlash semata-mata mencari ridla Allah SWT akan melahirkan manusia baru yang dari dalam hatinya memancar mata air dan sumber-sumber hikmah yang kemudian mengalir pada lisannya sebagaimana ditegaskan oleh Nabi SAW dalam sebuah sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Ibn Abi Syaibahh:
Tidaklah seorang hamba mengikhlashkan dirinya selama empat puluh pagi (hari) kecuali dari kalbunya memancar sumber-sumber hikmah yang mengalir pada lisannya (Mushannaf Ibn Abi Syaibahh, VII: 80; Musnad al-Syihab, I: 285).
Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa suluk dapat membidangi kelahiran manusia baru yang utuh sehingga layak dijadikan sarana pembangunan manusia seutuhnya, pembangunan yang selama ini lebih banyak menjadi slogan daripada kenyataan.
IV. THAREQAT JASADIYAH WAL BATHINIYAH
Jasadiyah wal Bathiniyah adalah sebutan bagi sebuah Thareqat yang saya cetuskan secara pribadi, dari hasil pemikiran yang saya temukan bahwa Thareqat jasadiyah wal bathiniyahh adalah buah dari Thareqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang dilaksanakan oleh saya Al Faqir As Saeffuuddin, karena saya berkeyakinan bahwa siapa saja yang menganut Thareqat Qadiriyahh wa Naqsyabandiyahh, maka akan masuk surga bersama guru-guru thareqat kita, bersama dengan tuan syeikh Abdul Qadir, bersama Rasulullaah SAW. Aamiin
Pertanyaan : kenapa menyebutnya Jasadiyahh wal bathiniyah?
Jawab : Karena sudah yakin dengan balasannya adalah surga bagi pengamal Qadiriyahh wa Naqsabandiyahh, berarti jelas sudah bisa menbentengi diri baik jasad atau bathin-nya dari segala hal yang membahayakan (api neraka-red).
Thareqat adalah jalan yang harus ditempuh oleh seorang Muslim agar berada sedekat mungkin dengan Allah di bawah bimbingan seorang guru. Tharekat mencoba memberi rasa aman dan kesejahteraan di kehidupan akhirat kepada para pengikutnya, setelah mereka merasa bahwa kehidupan mereka di dunia sudah mendekati akhir. Di samping itu tharekat berusaha membuka pintu Surga bagi kaum muslimin dan muslimat. Thareqat adalah jalan untuk memastikan kesama-an peluang untuk masuk Surga bagi semua umat manusia yang seiman dan seagama, baik yang alim, awam, kaya, miskin, rakyat, pejabat, pengusaha, ataupun, pegawai.
Ruh sebelum masuk ke tubuh memang suci, tetapi setelah bersatu dengan tubuh sering kali menjadi kotor karena digoda hawa nafsu. Maka agar dapat mendekatkan diri pada Allah yang Maha Suci, ruh manusia harus terlebih dahulu disucikan. Shufi-shufi besar kemudian merintis jalan sebagai media untuk penyucian jiwa yang dikenal dengan nama thariqat (jalan).
Para ahli hikmah/mistik dalam berbagai tradisi keagamaan cenderung menggambarkan langkah-langkah yang membawa kepada kehadirat Allah sebagai jalan.
Pembagian 3 (tiga) jalan dalam agama Islam menjadi Syariat,Thareqat dan Haqiqat. Jalan tri tunggal kepada Allah dijelaskan dalam suatu hadits Rasulullaahh SAW. Sebagai berikut :
1. Syariat adalah perkataanku (aqwali),
2. Thareqat adalah perbuatanku (Af’ali),
3. Haqiqat adalah keada-an bathinku (Ahwali).
Thareqat adalah jalan yang harus ditempuh para shufi, dan digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syari’at, sebab jalan utama disebut Syar sedang anak jalanan disebut thariq. Kata turunan ini menunjukkan bahwa menurut anggapan para shufi, pendidikan hikmah/mistik merupakan cabang dari jalan utama yang terdiri atas hukum Ilahi, tempat berpijak bagi setiap Muslim. Tak mungkin ada jalan tanpa adanya jalan utama tempat ia berpangkal.
Pengalaman hikmahh/mistik tak mungkin didapat bila perintah Syariat yang mengikat itu tidak dita’ati terlebih dahulu dengan seksama. Akan tetapi thariq atau jalan itu lebih sempit dan lebih sulit dijalani serta membawa salik (orang yang menempuh jalan shufi) sampai secepat mungkin mencapai tujuan yaitu tauhid sempurna berupa pengakuan berdasarkan pengalaman bahwa Tuhan adalah satu.
V. THAREQAT JASADIYAH WALBATHINIYAH MERUPAKAN WUJUD NYATA, SEBAGAIBUAH HASIL DARI PENGAMALAN THAREQAT QADIRIYAH WANAQSYABANDIYAH
Di antara berbagai macam thareqat yang ada terdapat thareqat yang bernama Thareqat Qadiriyahh wa Naqsyabandiyahh. Thareqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyahh merupakan penggabungan dari dua Thareqat besar yaitu Thareqat Qadiriyah dan Thareqat Naqsyabandiyah. Penggabungan kedua thareqat ini dimodifikasi sedemikan rupa, sehingga terbentuk sebuah thareqat yang mandiri dan berbeda dengan kedua tareqat induknya. Jadi thareqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang ada di Indonesia merupakan thareqat yang mandiri yang didalamnya terdapat unsur-unsur Qadiriyahh dan Naqsyabandiyah.
Nah saya sebagai pengikut/penganut ajaran Thareqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah berpendapat dengan seyakin-yakinnya bahwa kelak semua yang mengamalkan thareqat qadiriyah wa Naqsyabandiyah akan masuk surga, namun pendapat saya bahwa kita disurga nanti harus memiliki singgasana/istana/ rumah untuk tempat kita tinggal, maka saya menambah pekerjaan sehari-hari yang harus dilaksanan dengan rutin dan hati yang tulus dan khusyu yaitu menjalankan shalat rawatib,karena sabda Nabi barang siapa yang menjalankan shalat rawatib niscaya Allah akan membuatkan rumahnya disurga.
Saya berkeyakinan bahwa orang yang berthareqat qadiiriyah wa naqsyabandiyah sama dengan orang yang membentengi jasad dan bathinya artinya menjaga dirinya baik lahir atau bathin-nya dari segala yang akan menghancurkannya/merusaknya baik didunia ataupun di akhirat dan tak ada salahnya bagi saya atau pengikut saya menamakan nya bahwa thareqat Qadiriyahh wa Naqsayabandiyah sebagai Thareqat yang akan bisa membentengi dirinya baik lahir ataupun bathinnya, secara gamblangnya sebagai benteng/pelindung jasad dan bathinnya (jasadiyahh wal Bathiniyah).
Syeikh Ahmad Khathib Syambas mengukuhkan Thareqat yang di jalaninya dengan nama Thareqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah padahal bisa saja beliau memberinya nama thareqat Syambasiyah, namun dengan kerendahan hati, beliau untuk menghormati Mursyidnya mengukuhkannya kedua threqah tersebut menjadi sebuah thareqat yang besar hingga sekarang, pantas acungan jempol bagi beliau karena dengan thareqatnya bisa membuat kita sebagai penganutnya dapat terbingbing hingga mendapatkan ketentraman hati khususnya bagi saya yang dulu tidak mengerti arti dan tujuan hidup berkat bimbingan thareqatnya saya bisa menemukan kenikmatan dalam beribadah dan saya merasa yakin bahwa thareqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah akan dapat melindungi jasad dan bathin kita dari api neraka. Seiring dengan kegiatan-kegiatan ritual yang sudah ada dari guru thareqat saya jalankan, juga saya menambahkan pekerja-an yang diharuskan oleh diri saya sendiri berdasarkan hadits-hadits yang shaheh, dan pada kedua waktu dimana dalam hadits dilarang menjalankan shalat rawatib saya mengisinya dengan baca-an do’a-do’a yang diwajibkan dibaca setelah shalat sunat rawatib yaitu do’a khusus yang saya menyusun-nya sebagi perisai pelindung diri (jasad dan bathin) yang saya memberinya nama khusus pada tiga rangkaian do’a itu :
• HIZBUL JASAD WAL BATHIN
• HIZBUN-NAFSY
• HIZBUL AT-TAQQAA
Ketiga hizib ini akan dijelaskan pada bab berikutnya.
Berdasarkan dalil-dalil yang shahih Saya menjamin siapa saja yang menjalankan thareqat jasadiyahh walbathiniyahh akan bersama Rasul disurga dan memiliki istana Surga yang sangat mewah.Namun pendapat saya al faqir wadlaif tak cukup untuk mendapat surga saja, saya tertarik dengan pahala shalat sunnahh rawatib ingin sekali rumah/ istana itu, maka saya menjalankan-nya shalat rawatib itu, dan pada waktu yang dilarang shalat sunnahh rawatib, saya mengisinya dengan do’a-do’a mohon perlindungan baik untuk didunia maupun diakhirat agar bisa selamat dari bala-i dunia dan bala-i akhirat (narr).
V. DALIL DASAR SHALAT RAWATIB
1.Beberapa hadits dan pendapat ulama berikut menjadi dasar atas shalat sunnahh rawatib :
• Hadits riwayat Muslim
من صلى لله في يوم ثنتي عشرة ركعة بني له بيت في الجنة
Artinya: Barangsiapa yang shalat sebanyak 12 raka’at maka akan dibangun baginya rumah di surga.
• Hadits riwayat Ahmad hadits no. 26232; riwayat Abu Daud no. 1269; Tirmidzi no. 428; Nasai no.1816 menerangkan 4 rakaat rawatib sebelum dhuhur
من حافظ على أربع قبل الظهر وأربع بعدها حرمه الله على النار
Artinya: Barangsiapa yang menjaga shalat (rawatib) 4 rakaat sebelum dzuhur dan empat rakaat setelahnya maka Allah mengharamkan neraka baginya.
• Pendapat sebagian ulama Madzhab Syafi'i adalah sunnah rawatib sebelum dzuhur berjumlah 4 raka’at. Seperti dikatakan Imam Nawawi dalam kitab Al Majmuk
والسنة فيها وفي الأربع قبل الظهر وبعدها أن يسلم من كل ركعتين لما روياه من حديث علي رضي الله عنه۰ أنه كان يفصل بين كل ركعتين بالتسليم ۰
Artinya: Sunnahhnya dalam shalat empat rakaat sebelum dhuhur dan setelahnya adalah satu kali salam setiap dua raka’at.
Pendapat ini berdasarkan pada hadits riwayat Ahmad dll.
• Pendapat Madzhab Hanbali (madzhabnya pengikut Wahhabi Salafi) shalat sunnah rawatib sebelum dhuhur berjumlah 2 raka’at seperti disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni I/434
، فأما المعينة فتتنوع أنواعا ; منها السنن الرواتب مع الفرائض ، وهي عشر ركعات : ركعتان قبل الظهر ، وركعتان بعدها
Artinya: ... Salah satu shalat sunnahh mu’ayyanahh adalah sunnahh rawatib yang jumlahnya ada 10 raka’at: 2 raka’at sebelum dzuhur, 2 raka’at setelahnya...
Pendapat ini berdasarkan pada hadits Bukhari Muslim dari Ibnu Umar.
2. Keutama-an fadilahh melaksanakan shalat rawatib :
Dalil dan keutamaan shalat sunnah rawatib adalah :
• Hadits riwayat Bukhari
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: ما من عبد مسلم يصلي لله كل يوم ثنتي عشرة ركعة تطوعا غير فريضة إلا بنى الله له بيتا في الجنة
Nabi bersabda : Tidak ada seorang hamba yang shalat sunnah setiap hari sebanyak 12 raka’at kecuali Allaahh membangun untuknya sebuah rumah di surga.
• Hadits sahih riwayat Muslim
مَنْ صَلَّى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِي يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، بُنِيَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِي الجَنَّةِ
Artinya: Barang siapa yang shalat 12 roka’at sehari semalam maka dibangun baginya rumah di surga.
• Hadits sahih riwayat Bukhari Muslim (muttafaq alaih) dari Ibnu Umar.
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الجُمُعَةِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ المَغْرِبِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ العِشَاءِ
Artinya: Saya pernah shalat bersama Rasul dua raka’at sebelum dhuhur, 2 raka’at setelah dzuhur, 2 raka’at setelah Jum’at, 2 raka’at setelah maghrib, dua raka’at setelah isya'.
3. Waktu pelaksanaan shalat rawatib.
Ada 5 (lima) waktu shalat sunnah rawatib dengan total 12 raka’at 6 raka’at ba'diyyahh dan 6 raka’at qabliyah dengan rincian sebagai berikut:
1. Dua raka’at sebelum shalat subuh.
2. Empat raka’at sebelum shalat dhuhur (dilakukan dua raka’at dua raka’at atau 2 x salam).
3. Dua raka’at setelah shalat dhuhur.
4. Dua raka’at setelah shalat maghrib.
5. Dua raka’at setelah shalat isya'.
V. ASAL USUL GERAKAN THAREQAT QADIRIYAH WA NAQSYABANDIYAH
Jika ditela’ah secara sosiologis yang lebih mendalam, lahirnya tareqat lebih dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultur yang ada pada saat itu. Lahirnya trend pola hidup shufistik tidak lepas dari perubahan dan dinamika dalam kehidupan masyarakat. Sebagai contoh adalah munculnya gerakan kehidupan zuhud dan uzlah yang dipelopori oleh Hasan al Basri (110 H) dan Ibrahim Ibn Adham (159 H). Gerakan ini muncul sebagai reaksi terhadap pola hidup hedonistik (berfoya-foya) yang dipraktekkan oleh pejabat Bani Umayyahh.
Hasan al-Basri termasuk pendiri madzhab Basrah yang beraliran zuhud. Pendirian hidup dan pengalaman tashawwuf Hasan al Basri itu dijadikan pedoman bagi ahhli tashawwuf. Pandangan tashawwuf Hasan al Basri di antaranya pandangan dia terhadap dunia yang diibaratkan sebagai ular yang halus dalam pegangan tangan tetapi racunnya membawa maut.
Setidaknya ada 2 (dua) faktor yang menyebabkan lahirnya gerakan thareqat pada masa itu, yaitu faktor kultural dan struktural. Dari segi politik, dunia Islam sedang dilanda krisis hebat. Di bagian timur dunia Islam seperti : wilayah Palestina, Syiria, dan Mesir menghadapi serangan orang-orang Kristen Eropa, yang dikenal dengan Perang Salib selama lebih kurang dua abad (490-656 H / 1096-1248 M) telah terjadi delapan kali peperangan yang dahsyat.
Di bagian timur, dunia Islam menghadapi serangan Mongol yang haus darah dan kekuasaan. Ia melalap setiap wilayah jarahnya. Demikian juga di Baghdad yang merupakan pusat kekuasa-an dan peradaban Islam. Situasi politik tidak menentu, karena selalu terjadi perebutan kekuasa-an di antara dinasti-dinasti Turki. Keada-an ini menjadi sempurna keburukannya dengan penghancuran kota Baghdad oleh Hulaqu Khan, juga pada tahun 2004 amerika serikat dibawah kepemimpinan josbush membumi hanguskan bagdag dan Sadam Husen ditangkap,juga baru-baru ini israaill membombardir jalur Gaja Palestina.
Dalam situasi seperti itu, wajarlah kalau umat Islam berusaha mempertahankan agamanya dengan berpegang pada doktrin yang dapat menentramkan jiwanya dan menjalin hubungan damai dengan sesama muslim dalam kehidupan dunia.
Umat Islam memiliki warisan kultural dari para Ulama sebelumnya yang dapat digunakan terutama di bidang tashawwuf, yang merupakan aspek kultural yang ikut membidangi lahirnya thareqat-thareqat pada masa itu. Misalnya Abu Hamid al- Ghazali (wafat 505 H / 1111 M) dengan karyanya yang monumental : Ihya Ulum al Din (menghidupkan ilmu-ilmu agama) telah memberikan pedoman tashawwuf secara praktis yang kemudian di-ikuti oleh tokoh-tokoh shufi berikutnya seperti Syekh Abd al- Qadir al- Jailani yang merupakan pendiri Thareqat Qadiriyahh.
Mula-mula tareqat hanya berarti jalan menuju Tuhan yang ditempuh seorang shufi secara individual. Akan tetapi, kemudian shufi-shufi besar mengajarkan tareqat-nya kepada murid baik secara individual maupun secara berkelompok. Dengan demikian tareqat pun berarti jalan menuju Tuhan di bawah bimbingan guru. Selanjutnya mereka melakukan latihan bersama di bawah bimbingan guru. Inilah asal pengertian tareqat sebagai nama sebuah organisasi shufi.
Pada dasarnya munculnya banyak tareqat dalam Islam secara garis besarnya sama dengan latar belakang munculnya banyak madhab dalam fiqih dan firqah dalam kalam. Di dalam fiqihh berkembang madhab-madhab seperti : madhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, dhahiri, dan Syi’i.
Di dalam kalam juga berkembang firqah-firqah, seperti: Khawarij, Murji’ahh, Mu’tazilahh, asy’ariyahh, dan Maturidiyahh. Sementara mazhab dalam tashawwuf disebut tareqat. Bahkan thareqat dalam tashawwuf jumlahnya jauh lebih banyak dari pada mazhab dalam fiqihh maupun firqahh dalam kalam.
Di Indonesia terkenal sebuah Thareqat bernama Qadiriyahh wa Naqsyabandiyahh. Thareqat ini merupakan thareqat terbesar, terutama di pulau Jawa. Thareqat Qadiriyahh wa Naqsyabandiyah yang ada di Indonesia didirikan oleh sufi dan Syekh besar masjid al-Haram Mekah al Mukaramah. Ia bernama Ahmad Khatib Sambas ibn Abd Ghaffar al Sambasi al-Jawi. Ia wafat di Mekah pada tahun 1878 M. Beliau adalah seorang ulama besar dari Indonesia yang tinggal sampai akhir hayatnya di Mekah. Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, merupakan gabungan dari dua tarekat yang berbeda yaitu Tarekat Qadiriyahh dan Tarekat Naqsyabandiyah.
1. Thareqat Qadiriyah
THareqat Qadiriyah didirikan oleh Syekh Abdul al Qadir al Jailani (W. 561/1166 M). Syekh Abdul al Qadir al Jailani selalu menyeru kepada murid-muridnya agar bekerja keras dalam kehidupan sebagai bekal untuk memperkuat ibadah yang dihasilkan dari hasil keringat sendiri. Ia juga melarang kepada muridnya menggantungkan hidup kepada masyarakat. Al Jailani juga mengingatkan kepada pengikut tarekat agar tetap perpegang pada Sunah Rasulullah dan Syari’at agama Islam. Dia juga mengingatkan bahwa setan banyak menyesatkan ahli tareqat dengan menggodanya agar meninggalkan syari’at karena sudah melaksanakan thareqatnya.
Thareqat Qadiriyah terus meluas jaringannya hampir ke seluruh negeri Islam termasuk Indonesia. Bahkan manaqib (sejarah kelahiran dan sejarah keistimewa-anya), kini senantiasa mewarnai prosesi ritual Islamiyah di daerah jawa setidak-tidaknya nama pendiri tareqat ini selalu disebut dalam prosesi ritual. Ini menunjukan betapa lestarinya ajaran yang dikembangkan oleh sebuah institusi thareqat.
2. Thareqat Naqsyabandiyah
Thareqat Naqsyabandiyah didirikan oleh Muhammad ibn Muhammad Bahauddin al Naqsyabandi yang hidup antara tahun 717-791 H/1317-1389 M. Ia dilahirkan di desa yang bernama Qashrul Arifin yang terletak beberapa kilometer dari kota Bukhara, Rusia.
Kedua Thareqat tersebut kemudian dimodifikasi oleh Syekh Khatib Sambas. Sebagai seorang yang alim dan ma’rifat kepada Allah, Syekh Khatib Sambas memiliki otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri bagi thareqat yang dipimpinnya karena dalam Thareqat Qadiriyah memang ada kebebasan untuk memodifikasi bagi yang telah mencapai derajat mursyid. Dalam Thareqat Qadiriyah apabila seorang murid telah mencapai derajat syekh seperti gurunya, ia tidak diharuskan untuk selalu mengikuti thareqat gurunya. Seorang syekh Thareqat Qadiriyah berhak untuk tetap mengikuti thareqat guru sebelumnya atau memodifikasi thareqat yang lain ke dalam thareqatnya. Hal ini karena ada petuah dari Syekh Abdul Qadir al Jailani bahwa murid yang telah mencapai derajat gurunya, maka ia jadi mandiri sebagai syekh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya.
Syekh Khatib Sambas sangat berjasa dalam menyebarkan thareqat ini di Indonesia dan Melayu hingga wafat. Di Mekah ia juga menjadi guru sebagian ulama Indonesia modern dan mendapatkan ijazah. Sekembalinya ke Indonesia ia menjadi guru thareqat dan mengajarkannya sehingga thareqat ini tersebar luas di seluruh Indonesia, diantaranya Syekh Nawawi al Bantani (wafat 1887 M), Syekh Halil (w. 1918 M), Syekh Mahfuzd Attarmasi (w. 1923 M) dan Syekh M. Hasyim Asy’ari pendiri NU di Indonesia. Semuanya merupakan murid Syekh Khatib Sambas. Ketokohan Syekh Khatib Sambas yang menonjol adalah di bidang tassawuf. Beliau sebagai pemimpin atau mursyid tarekat Qadiriyahh yang berpusat di Mekah pada waktu itu. Di samping itu beliau juga sebagai mursyid thareqat Naqsyabandiyah.
Pada masanya telah ada pusat penyebaran Thareqat Naqsyabandiyah di kota suci Mekah dan Madinah sehingga sangat memungkinkan ia mendapat baiat thareqat Naqsyabandiyah dari kemursyidan tersebut. Kemudian ia menggabungkan inti kedua ajaran thareqat tersebut, yaitu Thareqat Qadiriyah dan Thareqat Naqsyabandiyah dan mengajarkan pada murid-muridnya terutama yang berasal dari Indonesia.
Penamaan Thareqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah tidak lepas dari sikap tawadlu dan ‘tazim Syekh Khatib Sambas kepada pendiri kedua tareqat tersebut sehingga beliau tidak menisbatkan nama tareqatnya pada dirinya sendiri. Padahal kalau melihat modifikasi ajarannya dan tata cara ritual tareqatnya itu, lebih tepat kalau dinamakan dengan Tareqat Khatibiyah atau Tareqat Sambasiyah, karena memang tareqatnya merupakan buah dari ijtihadnya.
Thareqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang terdapat di Indonesia bukanlah hanya merupakan suatu penggabungan dari dua thareqat yang berbeda yang diamalkan bersama-sama. Thareqat ini menjadi sebuah thareqat yang baru dan berdiri-sendiri, yang di dalamnya unsur-unsur pilihan dari Qadiriyah dan Naqsyabandiyah telah dipadukan menjadi sesuatu yang baru. Penggabungan inti dari kedua ajaran ini atas dasar pertimbangan logis dan strategis bahwa kedua ajaran inti itu bersikap saling melengkapi terutama dalam hal jenis dzikir dan metodenya.
Tareqat Qadiriyah menekankan ajarannya pada dzikir jahr nafi isbat yaitu melafadhkan kalimat Laa ilaha illallah dengan suara keras, sedangkan Thareqat Naqsyabandiyah menekankan pada dzikir siri ismu dzat yaitu melafadhkan kalimat Allah dalam hati.
Penyebaran Thareqat Qadiriyahh wa Naqsyabandiyah diperkirakan sejak paruh kedua abad ke-19, yaitu semenjak tibanya kembali murid-murid Syekh Khatib Sambas ke tanah air. Di Kalimantan Barat, daerah asal Syekh Khatib Sambas, thareqat ini disebarkan oleh kedua orang muridnya yaitu Syekh Nuruddin yang berasal dari Pilipina dan Syekh Muhammad Sa’ad putra asli Sambas. Karena penyebaran tidak melalui lembaga formal seperti pesantren maka thareqat hanya tersebar dikalangan orang awam dan tidak mendapatkan perkembangan yang berarti.
Lain halnya di pulau Jawa thareqat ini disebarkan melalui pondok pesantren yang didirikan dan dipimpin oleh para pengikutnya sehingga mengalami kemajuan yang pesat. Penyebaran thareqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Jawa dilakukan oleh 3 (tiga) murid Syekh Khatib Sambas, yaitu Syekh Abdul Karim Banten, Syekh Tholhah Cirebon, dan Kyai Ahmad Hasbullah Madura. Syekh Abdul Karim Banten merupakan murid kesayangan Syekh Ahmad Khatib Sambas di Mekah. Semula dia hanya sebagai khalifah Thareqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Banten, tahun 1876 diangkat oleh Syeikh Khatib Sambas menjadi penggantinya dalam kedudukan sebagai mursyid utama thareqat ini yang berkedudukan di Mekah. Dengan demikian semenjak itu seluruh organisasi di Indonesia menelusuri jalur spiritualnya.
VI. POKOK-POKOK AJARAN THAREQAT QADIRIYAH WA NAQSABANDIYAH
Sebagai suatu madzhab dalam tashawwuf, Thareqat Qadiriyahh wa Naqsyabandiyahh memiliki beberapa ajaran yang diyakini akan kebenarannya, terutama dalam kehidupan keshufian. Ada beberapa ajaran yang diyakini paling efektif dan efesian sebagai metode untuk mendekatkan diri dengan Allah. Pada umumnya metode yang menjadi ajaran dalam thareqat ini didasarkan pada Al Qur’an, Hadits, dan perkata-an para shufi.
Ada beberapa pokok ajaran dalam Thareqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di antaranya ajaran tentang :
1. KESEMPURNAAN SULUK,
2. ADAB KEPADA PARA MURSYID,
3. DZIKIR.
1. KESEMPURNAAN SULUK
Ajaran yang sangat ditekankan dalam Thareqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah adalah suatu keyakinan bahwa kesempurna-an suluk (merambah jalan keshufian dalam rangka mendekatkan diri dengan Allaahh), adalah jika berada dalam 3 (tiga) dimensi keimanan, yaitu :
• Islam,
• Iman, dan
• Ihsan.
Ketiga poin tersebut biasanya dikemas dalam satu jalan three in one yang sangat populer dengan istilah :
• Syariat,
• Thareqat,dan
• Haqiqat .
1. Syariat adalah dimensi perundang-undangan dalam Islam. Ia merupakan ketentuan yang telah ditentukan oleh Allah, melalui RasulNya Muhammad SAW. baik yang berupa perintah maupun larangan.
2. Thareqat merupakan dimensi pelaksanaan syari’at tersebut.
3. Haqiqat adalah dimensi penghayatan dalam mengamalkan thareqat tersebut, dengan penghayatan atas pengalaman syari’at itulah, maka seseorang akan mendapatkan manisnya iman yang disebut dengan ma’rifat.
Para shufi menggambarkan haqiqat suluk sebagai upaya mencari mutiara yang ada di dasar lautan yang dalam. Sehingga ketiga hal itu (syari’at, thareqat, dan haqiqat) menjadi mutlak penting karena berada dalam satu sistem.
• Syari’at digambarkan sebagai kapal yang berfungsi sebagai alat transportasi untuk sampai ke tujuan.
• Thareqat sebagai lautan yang luas dan tempat adanya mutiara.
• Haqiqat adalah mutiara yang dicari-cari. Mutiara yang dicari oleh para shufi adalah ma’rifat kepada Allah. Orang tidak akan mendapatkan mutiara tanpa menggunakan kapal.
Dalam Thareqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah diajarkan bahwa thareqat diamalkan justru dalam rangka menguatkan syari’at. Karena berthareqat dengan mengabaikan syariat ibarat bermain di luar sistem, sehingga tidak akan dapat mendapatkan sesuatu kecuali kesia-siaan.
Ajaran tentang prinsip kesempurnaan suluk merupakan ajaran yang selalu ditekankan oleh pendiri tarekat Qadiriyah, yaitu Syekh Abdul Qadir al Jailani, hal ini dapat dimaklumi, karena beliau seorang sufi sunni dan sekaligus ulama fiqihh.
2. ADAB KEPADA PARA MURSYID
Adab kepada Guru atau mursyid (syekh), merupakan ajaran yang sangat prinsip dalam thareqat. Adab atau etika murid dengan mursyidnya diatur sedemikian rupa sehingga menyerupai adab para sahabat terhadap Nabi Muhammad SAW. Hal ini diyakini karena muasyarah (pergaulan) antara murid dengan mursyid melestarikan sunnahh (tradisi) yang dilakukan pada masa nabi. Kedudukan murid menempati peran sahabat sedang kedudukan mursyid menempati peran nabi dalam hal irsyad (bimbingan) dan ta’lim (pengajaran).
Seorang murid harus menghormati syekhnya lahir dan bathin. Dia harus yakin bahwa maksudnya tidak akan tercapai melainkan ditangan syekh, serta menjauhkan diri dari segala sesuatu yang dibenci oleh syekhnya.
3. DZIKIR
Tharekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah adalah termasuk tarekat dzikir. Sehingga dzikir menjadi ciri khas yang mesti ada dalam thareqat. Dalam suatu tarekat dzikir dilakukan secara terus-menerus (istiqamah), hal ini dimaksudkan sebagai suatu latihan psikologis (riyadlah al-nafs) agar seseorang dapat mengingat Allah di setiap waktu dan kesempatan. Dzikir merupakan makanan spiritual para shufi dan merupakan apresiasi cinta kepada Allah. Sebab orang yang mencintai sesuatu tentunya ia akan banyak menyebut namanya.
Yang dimaksud dzikir dalam thareqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah adalah aktivitas lidah (lisan) maupun hati (bathin) sesuai dengan yang telah dibaiatkan oleh Guru atau mursyid.
Dalam ajaran Thareqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah terdapat 2 (dua) jenis dzikir yaitu :
1. Dzikir Nafi Isbat
Yaitu dzikir kepada Allah dengan menyebut kalimat “Laa Ilahha Illallah”. Dzikir ini merupakan inti ajaran Thareqat Qadiriyah yang dilafadzkan secara jahr (dengan suara keras). Dzikir nafi isbat pertama kali dibaiatkan kepada Ali ibn Abi Thalib pada malam hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekah ke kota Yasrib (madinah) di saat Ali menggantikan posisi Nabi (menempati tempat tidur dan memakai selimut Nabi). Dengan talqin dzikir inilah Ali mempunyai keberanian dan tawakal kepada Allahh yang luar biasa dalam menghadapi maut. Alasan lain Nabi membaiat Ali dengan dzikir keras adalah karena karakteristik yang dimiliki Ali. Ia seorang yang periang, terbuka, serta suka menentang orang-orang kafir dengan mengucapkan kalimat syahadat dengan suara keras.
2. Dzikir Ismu Dzat
Yaitu dzikir kepada Allah dengan menyebut kalimat “Allah” secara sirr atau khafi (dalam hati). Dzikir ini juga disebut dengan dzikir latifah dan merupakan ciri khas dalam Tareqat Naqsyabandiyahh. Sedangkan dzikir ismu dzat dibaiatkan pertama kali oleh Nabi kepada Abu Bakar ash Shiddiq, ketika sedang menemani Nabi di Gua Tsur, pada saat berada dalam persembunyiannya dari kejaran para pembunuh Quraisy. Dalam kondisi panik Nabi mengajarkan dzikir ini sekaligus kontemplasi dengan pemusatan bahwa Allah senantiasa menyertainya.
Kedua jenis dzikir ini dibaiatkan sekaligus oleh seorang mursyid pada waktu baiat yang pertama kali. Dapatlah difahami bahwa thareqat adalah cara atau jalan bagaimana seseorang dapat berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Diawal munculnya, thareqat hanya sebuah metode bagaimana seseorang dapat mendekatkan diri dengan Allah dan masih belum terikat dengan aturan-aturan yang ketat. Tetapi pada perkembangan berikutnya thareqat mengalami perkembangan menjadi sebuah pranata kerohanian yang mempunyai elemen-elemen pokok yang mesti ada yaitu :
• Mursyid,
• Silsilah,
• Baiat,
• Murid,
• Ajaran-ajaran.
Tujuan seseorang mendalami thareqat muncul setelah ia menempuh jalan shufi (tashawwuf) melalui penyucian hati (Tashfiyatul Qalb). Pada prakteknya tashawwuf merupakan adopsi ketat dari prinsip Islami dengan jalan mengerjakan seluruh perintah wajib dan sunah agar mencapai ridla Allah.
VII. AJARAN DASAR THAREQAT QADIRIYAH WA NAQSYABANDIYAH
Ajaran thareqat Qadiriyahh wa Naqsyabandiyahh, ajaran utamanya Dzikir. Ajaran Dzikir menempati posisi sentral dalam keseluruhan doktrin thareqqat, yang sumbernya sangat jelas dikemukakan dalam berbagai ayat-ayat al Qur-an. Antara lain, bahwa orang-orang yang beriman diminta untuk selalu berdzikir dengan sebanyak-banyaknya.
Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allaahh, dzikir yang sebanyak-banyaknya. (QS. Al-Ahzab : 41).
Juga dinyatakan, dengan berdzikir membuat hati tenang atau jiwanya tenteram.
“Sesungguhnya Aku Ini adalah Allaahh, tidak ada Tuhan (yang hak) selain aku, Maka sembahlah Aku dan Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. (Qur-an Surat Thaha ayat : 14).
Dzikir kepada Allah tidak mengenal waktu, selamanya dan di mana saja selalu baik dan tetap dianjurkan. Bila seorang mu’min lupa kepada Allah maka Allah akan membuat dirinya lupa. Sebaliknya, dengan senantiasa mengingat Allah maka manusia akan merasa tentram hatinya. Adapun praktek suluk yang dilakukan murid ketika masuk tareqat dimulai dengan prosesi bai’at, atau sering juga disebut talqin dzikir. Urutan ritualnya sebagai berikut :
1. Murid dan Guru sama-sama membaca : Bismillaahhirrahmaanirrahiim.
2. Murid dan Guru sama-sama membaca : Allaahhummaftah lii futuuh al aarifin (7X).
3. Murid dan Guru sama-sama membaca : Alhamdulillaahh wash-shalaat was-salaam ‘alaa habibikal ‘adhiim habiibil ‘aliyyil adhiim Saayyidinaa Muhammad al haadii ilaa shiraatil mustaqiim.
4. Murid dan Guru sama-sama membaca : Allaahhumma shalli ‘alaa sayyidinaa Muhammad wa ‘alaa alihhi wa sallim (3X)
5. Guru mengajarkan dzikir, yang selanjutnya ditirukan oleh murid : Laa ilaaha illa Allahh (3X), Sayyidina Muhammadun Rasulullah
6. Keduanya membaca shalawat munjiyat : Allahhumma shalli ‘alaa sayyidinaa Muhammad shalâtan tunjiinaa bihaa min jamii’ alahwal wa al-‘aafaat wa taqdli lanaa bihaa jamii’al-haajat wa tuthahhirunaa bihhaa min jamii’is-sayyiaat wa tarfa’unaa bihaa indaka ‘alaad darajaat wa tuballighunaa bihhaa aqshaal ghaayaat min jamii’il-khairaat fil hayaat wa ba’dal-mamaat.
7. Guru membaca ayat: Innal ladziina yubaayi’unaka innamaa yubayi’unallaahh yadullaahhi fauqa aidiihim faman nakatsa fainnama yankutsu ‘alaa nafsihhi wa man uufia bimaa ‘aakhada alayhullaahh fasayu’tiihi ajran ‘adhiimaa.
8. Membaca fatihah untuk Rasulullaahh saw dan kepada ahhli silsilahh Qadiriyahh-Naqsyabandiyahh khususnya Sulthanul Auliya’ Syekh Abdul Qadir al-Jailani dan Sayyid Abu Qasim Junaid al-Baghdadi. Juga kepada Syekh Ahmad Khatib Sambas dan Sayyid Abdul Karim Banten serta pada guru mengambil ijazahh.
9. Guru men-tawajjuhkan murid Setelah seorang murid mengikuti talqin ini maka secara resmi dia sudah menjadi pengikut tharekat. Selanjutnya dia mengamalkan ajaran-ajaran dalam thareqat tersebut, khususnya dalam tata cara dzikirnya. Pertama-tama seorang mudzakir harus membaca istighfar sebanyak 3X, kemudian membaca shalawat 3X, baru kemudian mengucapkan dzikir dengan mata terpejam agar lebih bisa menghayati arti dan makna kalimat yang diucapkan yaitu la ilahha illa Allah. Tekniknya, mengucap kata “Laa” dengan panjang, dengan menariknya dari bawah pusat ke arah otak melalui kening tempat diantara dua alis, seolah-olah menggoreskan garis lurus dari bawah pusat ke ubun-ubun yaitu suatu garis ke-emasan kalimat tauhid.
Selanjutnya mengucapkan “Ilaahha” seraya menarik garis lurus dari otak ke arah kanan atas susu kanan dan menghantamkan kalimat “Illallaahh” ke dalam hati sanubari yang ada di bawah dada kiri dengan sekuat-kuatnya. Ini dimaksudkan agar lebih menggetarkan hati sanubari dan membakar nafsu-nafsu jahat yang dikendalikan oleh syetan.
Selain dengan metode gerakan tersebut, praktek dzikir di sini juga dilaksanakan dengan ritme dan irama tertentu. Yaitu mengucapkan kalimat Laa, Illaha, Illallah, dan mengulanginya 3X secara pelan-pelan. Masing-masing diikuti dengan penghayatan makna kalimat nafy dan isbat itu, yaitu laa ma’buda Illallah (tidak ada yang berhak disembah selain Allah), laa maqsuda Illallah (tidak ada tempat yang dituju selain Allah), dan laa maujuda illa Allah (tidak ada yang maujud selain Allah).
Setelah pengulangan ketiga, dzikir dilaksanakan dengan nada yang lebih tinggi dan dengan ritme yang lebih cepat. Semakin bertambah banyak bilangan dzikir dan semakin lama, nada dan ritmenya semakin tinggi agar “kefana’an” semakin cepat diperoleh. Setelah sampai hitungan 165 X dzikir dihentikan, dan langsung diikuti dengan ucapan :
• Laa Ilaahha Illallaahhul ‘adhimul haliim;
• Laa Ilaahha Illallaahhur-Rabbul ‘arsyil ‘adhiim ; Laa ilaahha illallaahhur-Rabbus- samaawaati wal ard wa Rabbul ‘arsyil kariim;
• Laa laahha llallaahhul malikul haqul mubiin; Muhammadur-Rasulullaah shadiqul wa’dil aamin;
• Laa Ilahha Illallah Muhammadurrasulullaahh shalallahhu ’alayhhi wassallam.
10. Sayyiduna Muhammadur Rasulullaahh shallallaahhu ‘alaihh wa sallam. Demikian teknik yang dilakukan, seterusnya setiap kali usai shalat maktubat¸ kewajiban dzikir 165 X ini menjadi wajib dilaksanakan bagi murid yang sudah bai’at. Jadi dzikir pertama yang diamalkan murid adalah dzikir nafy dan isbaat, dengan suara jahar, inilah yang merupakan inti ajaran Qadiriyahh. Setelah itu, murid dapat melangkah kepada model dzikir berikutnya yaitu ismu dzat, yang lebih menekankan pada dzikir sir dan terpusat pada beberapa “Lathifah”.
Untuk lebih jelasnya ajaran tentang pengisian “lathifahh” Nama Lathifahh Tempat Berhubungan dengan Anggota Badan Shifat Kejahatan Shifat Kebaikan:
1. Lathifatul Qalbi 2 jari di bawah dada kiri Jantung Hawa nafsu, cinta dunia, shifat iblis dan syaithan. Iman, Islam, Tauhid, ma’rifat, shifat Malaikat.
2. Lathifatur-Ruh 2 jari di bawah dada kanan Paru-paru (tamak) dan rakus Qana’ah (mererima apa adanya).
3. Lathifatus-Sirr 2 jari di atas susu kiri Hati kasar Pemarah dan dendam Pengasih, penyayang, lemah lembut.
4. Lathifatul Khafi 2 jari di atas dada kanan Limpa Hasad (dengki) dan Munafik Syukur, ridla, shabar, dan tawakkal.
5. Lathifatul Akhfa Di tengah tengah dada Empedu Riya’, takabbur, ujub, dan sum’ah Ikhlas, khusyu’, tadlarru’ (rendah hati).
6. Lathifatun-Nafs Natqiyahh Di antara 2 kening Otak Jasmani Banyak khayalan, dan angan-angan Jiwa tenteram dan tenang pikiran.
7. Lathifatul Kullu Jasad Seluruh tubuh Seluruh anggota badan Jahil, lalai, lupa, lengah Bertambah ilmu dan amal.
beberapa shifat yang harus dihilangkan dalam diri seorang murid, dengan melalui dzikir yang harus terisi dalam “lathifah” yang berjumlah 7 “lathifah” tersebut, untuk mencapai shifat-shifat yang terpuji. Sementara dzikir yang harus dilakukan oleh seorang murid adalah sangat tergantung kepada kondisi bathin seorang murid, berapa kali mereka akan berdzikir, dan untuk menilai kemampuan murid dalam jumlah yang harus dibebankannya adalah sang guru dapat menilainya melalui “indera keenam”. Selain dzikir sebagai ajaran khusus, tareqat Qadiriyah- Naqsyabandiyahh tetap sangat menekankan keselarasan pengamalan trilogi Islam, Iman, dan Ihsan atau yang lebih akrab lagi dengan istilah syari’at, thareqat, dan haqeqat, 24 jam sehari semalam. Dalam hal ini pengamalan dalam thareqat haqeqatnya tidak jauh berbeda dengan kalangan Islam lain. Semuanya dimaksudkan untuk dapat mengimplementasikan Islam secara kaafah, tidak saja dimensi lahir tetapi juga dimensi bathin.
IX. UPACARA-UPACARA/RITUAL DALAM THARIQAH QADIRIYAH WA NAQSYABANDIYAHH
Maksud dari upacara-upacara ritual adalah beberapa kegiatan yang “disakralkan”, dan mempunyai tata cara tertentu (upacara dan prosesi yang khidmat), dan membutuhkan keterlibatan bersama antara murid dan mursyid.
Ada beberapa bentuk upacara ritual dalam Thareqat Qadiriyahh wa Naqsyabandiyahh sebagai sebuah jam’iyyah. Yaitu ; pembai’atan, khataman, dan manaqiban. Ketiga bentuk upacara ritual dalam thareqat ini dilaksanakan oleh semua kemursyidan yang ada di Indonesia, dengan prosesi kurang lebih sama. Tapi dalam istilah (nama kegiatan) kadang berbeda, untuk menunjuk pada suatu kegiatan yang sama. Seperti pembai’atan, ada sementara kemursyidan menyebutnya dengan penalqinan. Demikian pula khataman, ada yang menyebutnya dengan istilah tawajjuhan. Tetapi perbedaan itu sama sekali tidak membedakan isi dan makna kegiatan tersebut.
1. Pembai’atan
Upacara pemberian khirqah, atau pentasbihan seseorang untuk menjadi murid, atau pengikut, atau pengamal ajaran tareqat ini disebut dengan mubaya’ah, atau pentalqinan dzikir. Kedua istilah tersebut (bai’at dan talqin), dipergunakan dalam thareqat ini, dan populer di wilayah kemursyidan masing-masing.
Pembai’atan adalah sebuah prosesi perjanjian, antara seorang murid terhadap seorang mursyid. Seorang murid menyerahkan dirinya untuk dibina dan dibimbing dalam rangka membersihkan jiwanya, dan mendekatkan diri kepada Tuhannya. Dan selanjutnya seorang mursyid menerimannya dengan mengajarkan dzikir talqin al-dzikra, kepadanya.
Upacara pembai’atan merupakan langkah awal yang harus dilalui oleh seorang salik, khususnya seorang yang memasuki jalan hidup kesyufian melalui thareqat. Menurut para ahli thareqat “bai’at” merupakan syarat syahnya suatu perjalanan spiritual (suluk) Syufi besar Abu Yazid al Bustami, berkata, yang artinya kurang lebih :
“Barangsiapa yang tidak mempunyai guru , maka imamnya adalah syetan”.
Walaupun demikian ada juga beberapa syufi yang melakukan suluk tanpa pembai’atan formal seperti dalam thareqat. Maka mereka menerima bai’at secara berzakhi (oleh seorang wali besar yang sudah wafat, ataupun oleh Nabi sendiri). Mereka ini disebut dengan kaum uwaisiy (nisbat kepada Uwais al Qarni). Misalnya al Kharaqani yang melakukan suluk dengan bimbingan Abu Yazid al-Bustami dan al Attar oleh arwah al Hallaj.
Menurut ketetapan Jam’iyyahh Ahli Thareqat al-Mu’tabarah al-Nahdiyyah, hukum dasar bai’at dzikr (tareqat) adalah al-sunnahh al-Nabawiyah. Akan tetapi bisa menjadi wajib, apabila seseorang tidak dapat membersihkan jiwanya kecuali dengan bai’at itu. Dan bagi yang telah berbai’at, hukum mengamalkannya adalah wajib, berdasarkan firman Allah dalam (Qur’an Surat al-Isra ayat:34):
Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji ; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.
Bentuk pembai’atan itu ada dua macam. Kedua macam pembaiatan ini dipraktekkan dalam thareqat ini, yaitu pembai’atan fardiyyah (individual) dan pembai’atan jam’iyyah (kolektif). Baik bai’at secara individual maupun kolektif, keduanya dilaksanakan dalam rangka melestarikan tradisi Rasul. Di antara hadits yang dipergunakan dasar antara lain :
Prosesi pembai’atan dalam Tareqat Qadiriyah wa Nasqsyabandiyah biasanya dilaksanakan setelah calon murid mengetahui terlebih dahulu ketentuan-ketentuan/penjelasan-penjelasan thareqat tersebut, terutama menyangkut masalah kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakannya, termasuk tatacara berbai’at. Sehingga baru setelah merasa mantap, dan mampu seorang murid datang mengahadap mursyid untuk dibai’at.
1. Prosesi pembai’atan itu adalah sebagai berikut :
Dalam Keada-an suci, murid duduk menghadap mursyid dengan posisi duduk ‘aks tawarruk (kebalikan duduk tawarruk tasyahud akhir). Dengan penuh kekhusukan, taubat dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada mursyid untuk dibimbing.
2. Selanjutnya mursyid membimbing murid untuk membaca kalimat berikut ini;
•Basmalah ; Do’a yang artinya “Ya Allah bukakan untukku dengan keterbukaan para ‘arifin” 7X;
•Basmallah, hamdallah dan shalawat; Basmallah dan istighfar tiga kali; Shalawat 3X.
•Kemudian Guru atau Syekh atau Mursyid mengajarkan dzikr, dan selanjutnya murid menirukan: Laa ilaha illaa Allah, 3X.
•Dan ditutup dengan ucapan Sayyiduna Muhammadun Shallallaahhu ‘alaihhi wassallam
4. Kemudian keduanya membaca shalawat munjiat.
5. Kemudian mursyid menuntun murid untuk membaca ayat bai’at: Surat al-fath ayat 10, dengan diawali ta’awud dan basmalah, yang artinya; “Aku berlindung kepada Allaahh, dari syetan yang terkutuk. Dengan nama Allaahh Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya, akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri, dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allahh, maka Allah akan memberinya pahala yang besar.”
6. Kemudian berhadiah fatihah kepada: Rasulullah SAW. para masyayikh ahhli silsilah al Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, khsusunya syeikh Abdul Qadir al Jailani dan Syekh Abu al Qasim Junaidi al Bagdadi satu kali.
7. Kemudian syeikh atau mursyid berdo’a untuk muridnya sekedarnya.
8. Selanjutnya mursyid memberikan tawajjuh kepada murid seribu kali, atau lebih.
Tawajjuh ini dilaksanakan dengan cara memejamkan kedua mata rapat-rapat, mulut juga ditutup rapat-rapat, dengan menyentuhkan lidah ke langit-langit mulut. Dan menyebut nama Allah (Allah, Allah) dalam hati 1000 hingga 5000x, dengan dikonsentrasikan (difokuskan) ke arah sanubari murid. Demikian juga murid melaksanakan hal yang serupa, untuk dirinya.
Itulah prosesi pembai’atan yang merupakan pembai’atan atau talqin dua macam dzikr sekaligus, Yaitu dzikir nafi isbat (Qadiriyah), dan dzikr lathaif (Naqsyabandiyah). Baru pembai’atan selanjutnya yang beda hanya untuk dzikir latahif saja, sampai tujuh kali. Dan pembai’atan untuk mengamalkan muraqabah dua puluh kali.
Dari segi prosesinya, pembai’atan yang ada dalam thareqat ini jelas berbeda dengan prosesi yang ada dalam thareqat induknya. Di dalam Thareqat Qadiriyah pembai’atan hanya untuk dzikrun - nafi isbat, dengan didahului shalat sunnah dua raka’at, dan prosesi ijab qabul, serta acara pemberian wasiat dan pesan-pesan untuk berlaku keshufian, oleh mursyid kepada murid yang menandai berakhirnya pembai’atan. Demikian juga prosesi tersebut berbeda dengan yang ada dalam tradisi Thareqat Naqsyabandiyah.
Selain alasan-alasan “syar’i” tersebut, talqin dzikir (pembai’atan) juga dimaksudkan untuk memberikan tekanan psikologis bagi seseorang untuk senantiasa melaksanakan dzikir karena janji dan bai’atnya kepada mursyid, sehingga akhirnya dzikir menjadi bagian dari hidupnya. Ibarat pohon atau tanaman, dzikir (kalimat thayyibahh), harus ditanamkan oleh seorang ahhli yang berhak untuk itu, itulah mursyid. Jika dzikir yang ditanamkan oleh mursyid, terus menerus dirawat - dengan mengamalkannya - maka tumbuhlah ia menjadi pohon yang baik, Dan senantiasa akan menghasilkan buah setiap saat dan itu adalah pohon kepribadian dan akhlak yang mulia. (lihat QS. Ibrahim : 34).
Dan dia Telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. dan jika kamu menghitung nikmat Allaahh, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat dhalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).
2. Manaqiban
Upacara ritual yang menjadi tradisi dalam Thareqat Qadiriyahh wa Naqsyabandiyahh yang tidak kalah pentingnya adalah manaqiban. Manakiban selain amalan beribadh juga mempunyai aspek mistikal. Sebenarnya kata manaqiban berasal dari kata manaqib (bahasa Arab), yang berarti biografi ditambah dengan akhiran: an, menjadi manaqiban sebagai istilah yang berarti kegiatan pembacaan manaqib (biografi), syekh Abdul Qadir al Jailani, pendiri Thareqat Qadiriyah.
Isi kandungan kitab manaqib itu meliputi: silsilah nasab syekh Abdul Qadir al Jailani, sejarah hidupnya, akhlaq dan karamah-karamahnya, di samping adanya do’a-do’a bersajak (nadhaman, bahr dan rajaz) yang bermuatan pujian dan tawassul melalui dirinya.
Pengakuan akan kekuatan magis dan mistis dalam ritual manaqiban ini karena adanya keyakinan bahwa syekh Abdul Qadir al Jailani adalah qutbil auliya’ yang sangat istimewa, beliau seorang pemimpin Aulia yang mendapat mandat dari Allah untuk memberikan karamah pada setiap murid-muridnya/pengikutnya. (pengaruh mistis dan spiritual) dalam kehidupan seseorang. Hal ini dapat dipahami dalam sya’ir berikut :
“Para hamba Allah, dan para tokoh-tokohnya Allah, tolonglah kami karena kerelaan Allah. Jadilah Tuan semua penolong kami karena Allah, semoga dapat berhasil maksud kami, sebab keutamaan Allah. Semoga rahmat Allah atas yang mencukupi (nabi Muhammad), dan semoga keselamatan atas pemberi syafa’at (Nabi Muhammad). Karena syekh Muhyiddin (Abdul Qadir) semoga engkau menyelamatkan kami, dari berbagai macam cobaan yaa Allah”.
Tetapi dari sekian banyak muatan mistis dan legenda tentang syekh Abdul Qadir al Jailani, yang paling dianggap istimewa dan diyakini memiliki berkah besar dalam upacara manaqiban adalah karena dalam kitab manaqib terdapat silsilah nasab syekh.
Dengan membaca silsilah nasab ini seseorang akan mendapat berkah yang sangat banyak. Karena itu nasabnya itu dinadhamkan sebagai berikut, yang artinya: “Nasab ini seakan-akan menjadi mataharinya waktu Dhuha, karena terangnya sebagai penyangga munculnya waktu pagi. Nasabnya (syeikh) telah bersinar di wajah Adam, sehingga malaikat langit diperintahkan sujud kepadanya. Nasab ini dalam kitab Allah sebagai hujjah yang terkuat telah dipuji, maka barangsiapa yang sengaja ingkar pasti Kalah”.
Sehingga setelah nasabnya syeikh dibaca, para masyayikh dan hadlirin peserta manaqiban, semua menjawab dengan do’a, yang artinya, “Mudahkan setiap urusan kami dan ma’afkan kami, dari setiap duka, bala’ dan kemelaratan saya.”
Secara umum diterimanya upacara manaqiban ini oleh para Kiai di Jawa khususnya, karena di dalam manaqib disebut-sebut nama para Nabi dan orang-orang shaleh. Khususnya pada pribadi syekh sendiri. Sedangkan hal-hal tersebut diyakini sebagai suatu amal shaleh (kebaikan), berdasarkan sabda Nabi, “Mengingat para Nabi adalah termasuk ibadah, mengingat orang-orang shaleh adalah kafarat, mengingat kematian adalah shadaqah, dan mengingat kubur akan mendekatkan kalian ke surga.” (HR. Imam Dailami).
Sedangkan manaqiban dalam tradisi Thareqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah sebagai jam’iyyah merupakan kegiatan rutin. Ada yang menyelenggarakan pada acara mujahadah bersama setiap minggu, atau acara khataman dan tawajjuhan setiap bulan atau pada acara khaul Syekh Abdul Qadir al Jailani yang jatuh pada tanggal 11 Rabi’ul tsani Karena Syekh wafat pada tanggal 11 Robi’ul tsani 561 H.
Tradisi pembacaan manaqib ini, dilaksanakan secara terpisah dan merupakan seremonial tersendiri. Tidak termasuk dalam kegiatan mujahadah, maupun khataman. Misalnya tradisi yang berlaku dalam Thareqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah untuk kemursyidan. Manaqiban ini diadakan rutin setiap bulan sekali, dengan tertib acaranya sebagai berikut; pembaca-an ayat suci Al qur-an, pembacaan tasbih, pembacaan tawassul, pembacaan manaqib, ceramah agama, dan penutup.
3. Khataman
Kegiatan ini merupakan upacara ritual yang biasanya dilaksanakan secara rutin di semua cabang kemursyidan. Ada yang menyelenggarakan sebagai kegiatan mingguan, tetapi banyak juga yang menyelenggarakan kegiatannya sebagai kegiatan bulanan, dan keliwonan (36 hari).
Walaupun ada sementara kemursyidan yang menamakan kegiatan ini dengan istilah lain, yaitu tawajjuhan, atau khususiyah, tetapi pada dasarnya sama, yaitu pembacaan ratib atau aurad khataman tharekat ini.
Dari segi tujuannya, khataman merupakan kegiatan individual, yakni amalan tertentu yang harus dikerjakan oleh seorang murid yang telah mengkhatamkan tarbiyat Dzikr lathaif. Dan khataman sebagai suatu ritual (upacara sakral) dilakukan dalam rangka tasyakuran atas keberhasilan seorang murid dalam melaksanakan sejumlah beban dan kewajiban dalam semua tingkatan Dzikir lathaif.
Tetapi dalam prakteknya khataman merupakan upacara ritual yang “resmi” lengkap dan rutin, sekalipun mungkin tidak ada yang sedang syukuran khataman. Kegiatan khataman ini dipimpin langsung oleh mursyid atau asisten mursyid (khalifah kubra). Sehingga forum khataman sekaligus berfungsi sebagai forum tawajjuh, serta silaturrahmi antara para ikhwan.
Kegiatan khataman ini biasanya juga disebut mujahadah, karena memang upacara dan kegiatan ini memang dimaksudkan untuk mujahadah (bersungguh-sungguh dalam meningkatkan kualitas spiritual) baik dengan melakukan dzikir dan wirid, maupun dengan pengajian dan bimbingan ruhaniyah oleh guru.
0 Komentar